Senin, 03 Juni 2013

Celoteh Bang Sinyo #3




Konon sejak Pekan Raya Jakarta (PRJ) pindah lokasi di Kemayoran tahun 1992, ciri khas pesta rakyat yang digelar sejak tahun 1968 di kawasan Monas yang terinspirasi Pasar Malam Gambir zaman Belanda itupun mulai hilang. Terlebih sejak tahun 2005, dimana Jakarta International Expo lebih tampil sebagai tempat promosi perusahaan besar.

Nggak bisa dihindari, bila selanjutnya kepentingan konglomerat mendominasi serta mulai menggeser kepentingan ekonomi, sosial, dan budaya rakyat jelata. Ukuran keberhasilan dihitung dengan kalkulasi produk yang terjual serta para pengunjung yang datang. Apalagi tiket yang di banderol 30 ribu perak untuk sekali masuk jelas bukan merupakan tarif yang murah-meriah.

Padahal, merunut asal-usul serta konsepsi awal, tagetnya bukan kepentingan ekonomi para konglomerat, melainkan pesta dari, demi, dan untuk rakyat jelata. Seberapa jauh platform dan kreativitas serta kondisi sosial-budaya masyarakat yang ditampilkan. Maksudnya, apapun yang serba merakyat bisa tampil di PRJ, seperti kuliner kerak telor ataupun tarian lenong Betawi.

Memang, penjelasan serta argumentasinya nggak segampang itu. Apalagi menyampaikan informasi tentang Jakarta itupun termasuk termasuk kegiatan pemprov beserta lembaga kebetawian terkait yang merupakan bagian dari, demi, dan untuk rakyat. Sementara kita sebagai masyarakat kebanyakan cuma berharap semoga semuanya baek-baek aja.

Oh ya.. ada wacana untuk mengembalikan konsep PRJ sebagai milik rakyat yang bisa jadi berarti mengembalikan penyelenggaraannya ke Pemprov DKI Jakarta. Kalo gitu.. suapaya kepentingan rakyat lebih diperhatiin ketimbang kepentingan ekonomi pengusaha, pembagian saham juga perlu direvisi.. ya gak.. ya gak..?

Tapi kayaknya kurang tepat bila pindah lokasi sebagai langkah awalnya mengingat kondisi infrastruktur prasarana dan sarana di Kemayoran jauh lebih baik ketimbang di Monas. Yang pasti, ‘ngerombak’ kawasan Monas untuk penyelenggaraan PRJ perlu kajian rasionalitas. Nggak ada salahnye sih eksperimen pameran di beberapa tempat sebagai embrio format baru PRJ.

Tapi mengembalikan PRJ menjadi milik rakyat berarti mengubah konsep dasar berikut turunannya. Memanfaatkan semaksimal mungkin fasilitas yang sudah tersedia di Kemayoran barangkali lebih bermanfaat, segampang mengubah konsep dasar dan mainstream ke, dari, demi, dan untuk kepentingan rakyat.

Berbagai kemungkinan dan simulasi yang diselenggarakan harus menjadi bahan pertimbangan serius. Kalo nggak salah, PRJ tahun kemaren aja target 4 triliun dan 4,5 juta pengunjung bisa kesampaian.. mampukah kawasan Monas menampungnya, atau sebaliknya malah merusak lingkungan disana? Keinginan mengembalikan PRJ ke rakyat berarti perlu penyegaran konsep dari, demi, dan untuk rakyat!

Oh ya.. numpang tanya.. nyang bayar 30 ribu itu kn namanya rakyat juga, yee? Busyeet.. yang datang ngebludak sih..? rakyat mane aje tuh..? Berarti rakyat emang udah pada mampu, dong.. Naah.. berhubung sekarang aja pada rela beli karcis sampe desak-desakan segala.. kalo gitu tahun depan harga tiket PRJ nggak usah diturunin..  hehehe..