Rabu, 18 September 2013

Kemayoran, Pojok Sejarah Jakarta yang Terlupa



Dahi lelaki tua itu kian berkerut ketika di minta mengingat sesuatu dari masa silam. Pandangan matanya tidak jelas arah, tampak ia berusaha keras memanggil kembali sejumlah kenangan. Sesekali dia mengusap rambutnya yang memutih.

Ada rentang waktu yang cukup lama memang. Sumantri, lelaki bertubuh kurus itu, kini usianya 75 tahun. Ia mulai memanggil kembali kepingan masa lalu itu, Tatkala Sumantri baru pertama menginjakkan kaki di Perumahan Angkasa Pura, rumah sederhana yang di huninya hingga kini. "Waktu itu daerah sini masih rawa-rawa," ujarnya.

Soal kepastian tahun, memang agak luput dari memorinya. Namun bagaimana kehidupan yang ia jalani, Sumantri masih ingat betul.

Pada 1963, ia pertama kali datang ke Kemayoran, saat baru lulus dari Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) di Curug. Sumantri di dapuk bekerja di Bandara Kemayoran sebagai teknisi radio komunikasi. Saat itu Bandara Kemayoran masih beroperasi.

Sebagai teknisi radio, ia juga bertugas menjaga alat-alat komunikasi di bandara. Tidak jarang ia harus berjaga 24 jam. Ia pun menceritakan pengalamannya bekerja saat itu.

"Dinas (kantor) saya di tengah alang-alang. Ada pintu kawat, keluar masuknya dijaga. Kalau malam, masih banyak binatang berkeliaran. Kita bisa lihat celeng (babi hutan). Banyak, kira-kira lima ekor. Sampai kita nggak bisa keluar," ujarnya.

Meski suasananya masih seperti 'hutan', Kemayoran adalah bandara komersil pertama di Indonesia. Bahkan saat itu, Malaysia pun belum memilikinya. Fungsinya seperti karpet merah. Setiap tamu yang ingin menginjakkan kaki di ibu kota, harus melalui Kemayoran.

Bandara sudah di bangun sejak Indonesia belum merdeka, tahun 1934. Menurut Alwi Shahab seorang ahli sejarah Betawi, Belanda punya dua opsi saat membangun bandara di Jakarta. Kebayoran atau Kemayoran. "Akhirnya di pilih Kemayoran," ujarnya.

Nama Kemayoran sendiri di ambil dari derajat tertinggi dalam masyarakat China. Untuk membangun suatu daerah, pemerintah Belanda saat itu membutuhkan pemimpin. Saat itu, di daerah Kemayoran banyak tinggal orang China. Pangkat tertinggi untuk mereka adalah mayor.

"Konon, Kemayoran berasal dari kata 'mayor' dalam masyarakat China. Bagi mereka, mayor perannya seperti kepala suku," Alwi menjelaskan.

Namun, mayor yang di maksud bukanlah pangkat dalam militer. Itu merupakan gelar kehormatan bagi mereka yang bersikap baik.

Kemayoran juga punya sejarah lain. Di sebutkan, dahulu banyak pejabat militer berpangkat mayor yang tinggal di sana. Mereka dictempatkan oleh Belanda dalam asrama yang di bangun di sepanjang Jalan Garuda. Ada yang menyebutkan, itulah asal nama Kemayoran.

Bagaimanapun juga, pada akhirnya Bandara Kemayoran resmi di operasikan pada 8 Juli 1940. Ia menjadi saksi bisu sejarah dirgantara nusantara. Berbagai pesawat canggih dan tetamu dunia pernah 'mampir' di sana.

Pesawat pertama yang mendarat di sana adalah DC-3 Dakota milik penerbangan Hindia Belanda. Setelah itu, pesawat bermesin piston hingga turbojet bergantian 'mengunjungi' Bandara Kemayoran. Ia bahkan pernah menjadi tuan rumah airshow pertama di Indonesia.

Sekitar 40 negara peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 juga melalui Bandara Kemayoran. Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno selalu melewatinya setiap akan melakukan tugas negara. Bandara ini bahkan pernah muncul dalam komik Tintin.

Jelas saja, kapasitas Bandara Kemayoran sudah terhitung cukup besar dan modern kala itu. Luasnya lebih dari 40 hektar. Di bagian atas gedung bandara, ada sebuah tempat hiburan malam yang terkenal. "Orang berduit waktu itu, kalau cari hiburan ke sana," ujar Alwi bercerita.

Sayang, Bandara Kemayoran harus di tutup secara resmi pada 1 Juni 1984. Saat itu, ia sudah berhenti beroperasi lebih dari setahun lamanya. Seluruh operasional bandara di pindahkan ke Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng. Alasannya, menurut Alwi, karena bandara di Kemayoran tidak bisa berkembang lagi.

"Di situ banyak rumah penduduk. Ada pertimbangan keamanan juga," ujarnya. Selain lahan yang tidak memungkinkan untuk perluasan, pemerintah juga khawatir pesawat yang akan mendarat terbang terlalu rendah. Tepat di atas atap rumah penduduk. Alasan itu juga di benarkan Sumantri.

Kini, kegagahan Bandara Kemayoran tinggal sisa-sisa saja. Gedung bandara di renovasi menjadi PRJ yang tiap tahun dijadikan arena pesta warga Jakarta. "JI-Expo, Hypermart, itu dulunya bangunan bandara," kata Sumantri menyebutkan. Pasar Mobil Kemayoran pun termasuk lahan bandara.

Di depan JI-Expo, masih tampak menara yang menjadi salah satu bukti eksistensi Bandara Kemayoran. Sayang, sudah tidak terawat. Sekitarnya di tumbuhi ilalang. Yang masih terlihat jelas hanyalah landasan pacu bandara yang kini di lalui berbagai macam kendaraan. Namanya berganti menjadi Jalan Benyamin Sueb. Nama itu di ambil dari tokoh lawak Benyamin yang memang asli Kemayoran.

"Bekas landasan itu di jadikan jalan, di bangun terus sampai tol. Makanya jalannya kuat, kekar. Dulunya dilewati pesawat," ucap Sumantri lagi. Kini, kanan-kiri jalanan itu adalah gedung-gedung dan lapangan golf. Sebagai bukti, ada halte bus Trans Jakarta yang jelas-jelas bernama 'Halte Landasan Pacu Timur'.

Kemayoran kini memang jadi kawasan padat penduduk. Perumahan Angkasa Pura bukan lagi satu-satunya. Rekan-rekan kerja Sumantri pun sudah banyak yang pindah. Rumah mereka di jual ke pihak lain.

Sumantri dan istrinya memutuskan tetap tinggal karena mereka masih ingin menjadi bagian dari sejarah Bandara Kemayoran. Sementara ketiga anak mereka sudah berkeluarga. Sumantri sama sekali tidak berniat memugar rumahnya.

Bangunannya masih 'bergaya lama'. Atapnya rendah. Pagarnya pendek dan tidak terkunci. Tidak ada kesan angkuh. Kini, Sumantri dan istrinya bisa di bilang satu dari sedikit penduduk asli yang masih tinggal di komplek perumahan Angkasa Pura itu. Saksi hidup berdirinya Bandara Kemayoran.

viva.co.id