Sabtu, 08 Desember 2012

Catatan Yang Tercecer Dari Kampung Tua Kemayoran



Setiap orang sebagai bagian dari anggota masyarakat tentu akan menetap di suatu wilayah. Ia bisa menetap di Jakarta maupun wilayah Indonesia lainnya. Namun seringkali kita bertanya soal asal usul nama wilayah di mana kita diam dan menetap itu. Padahal di pastikan munculnya suatu nama wilayah memiliki sejarah dan catatannya sendiri. Seperti halnya di Jakarta ini, termasuk Kemayoran.

Barangkali nama Kemayoran sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jakarta khususnya dan di Indonesia umumnya. Masyarakat tanah air tentu mengenal nama tersebut karena sempat menjadi pintu gerbang masuk dan keluarnya semua kalangan untuk melakukan perjalanan domestik maupun mancanegara. Apalagi bagi kalangan pemimpin dunia ketika itu, Kemayoran seolah akrab di telinga mereka sejak Konferensi Asia Afrika (KAA) I tahun 1955 di Bandung dulu.

Di bagian wilayah ini sejak sebelum kemerdekaan, sekitar tahun 1935 (1940) hingga 1985 terdapat Bandar udara tersibuk di Indonesia. Tak heran, pemimpin dunia manapun pasti tahu nama ini. Kemayoran bisa dikenal salah satunya dari keberadaan lapangan udara itu sebelum akhirnya dipindahkan ke Cengkareng (Bandar Udara Soekarno-Hatta). Namun demikian Kemayoran juga menyimpan catatan sejarahnya sendiri.

Kemayoran tempo dulu merupakan satu kampung besar demikian luas dan kabarnya sebagian dari tanahnya itu dikuasai oleh Isaac de Saint Martin, seorang serdadu berkebangsaan Perancis, yang lahir pada 1629. Pendek kata, oleh alasan tertentu Isaac yang berpangkat Mayor tatkala peperangan di Jawa Tengah dan Jawa Timur masa VOC dulu hengkang, dan akhirnya menetap di wilayah ini.

Dari beberapa literature, ada yang menyebut munculnya nama Kemayoran oleh sebab pangkat Mayor yang disandang Isaac kerap digunakan masyarakat Batavia (Betawi) untuk memanggil namanya, Tuan Mayor. Tetapi, dalam dokumen Plakaatboek (Van der Chijs XIV; 536), serta suatu iklan pada Java Government Gazette tertanggal 24 Februari 1816, wilayah ini biasa disebut Mayoran.

Bahkan ada cerita munculnya nama Kemayoran juga berasal dari nama pangkat seperti tersebut di atas. Akan tetapi pangkat Mayor ini hanya diberikan kepada orang Tionghoa atau Belanda dari pemerintah Belanda sebagai pangkat kehormatan untuk mengepalai kelompok atau golongannya, sekaligus bertugas menarik pajak pribumi. Dalam konteks interaksi inilah kemudian masyarakat pribumi betawi acapkali menyebut nama Mayor untuk petugas penarik pajak itu.

Karenanya asal usul nama ini boleh jadi masih menimbulkan tafsir bagi kalangan pemerhati sejarah. Kendati nama tersebut tidak disebutkan secara pasti kapan sesungguhnya nama Kemayoran itu muncul. Apalagi bersamaan dengan datangnya Inggris, lewat Thomas Stamford Raffles, di beberapa kota di Batavia dibentuk suatu tatanan pemerintahan hirarkis.

Kampung tua Kemayoran pun tak luput dengan model pemerintahan ala Raffles ini. Ketika itu Gubernur Jenderal asal Inggris ini memberikan hirarki kepemimpinan dalam tatanan masyarakat di wilayah ini atau yang disebut dengan Wijkmeester (Lurah). Wijk atau Lurah dalam perkembangannya kemudian diplesetkan menjadi Bek pada masyarakat Betawi. Bek bisa diartikan pula oleh masyarakat betawi sebagai orang yang berkuasa dan dihormati di suatu wilayah.

Lepas dari asal usul nama itu, kampung Kemayoran yang masa tempo dulu dihuni penduduk asli betawi, kini telah dihuni oleh berbagai etnis. Konon keragaman etnis ini muncul pertama kali, tatkala terjadi peperangan VOC dalam menghadapi Sultan Hasanudin dari Banten dan Sultan Agung, Mataram sekitar tahun 1628-an.

Dalam peperangan itu, VOC mendatangkan orang-orang dari Cina, India, Sumatera dan Indonesia Timur. Selain juga kedatangan mereka adalah untuk dijadikan pekerja dalam pembuatan jalan, parit maupun milisi militernya. Dari situlah kemudian muncul asimilasi perkawinan yang menumbuhkembangkan etnisitas, baik antar masyarakat pendatang maupun dengan masyarakat betawi Kemayoran.

Selanjutnya, pertumbuhan etnis itu juga kian berkembang di masa penjajahan Belanda ketika orang-orang Indo (campuran Belanda dan Indonesia) menetap di tangsi tentara di sekitar jalan Garuda. Kehadiran mereka juga menambah etnisitas yang mendiami kawasan Kemayoran ini. Malah usai perang dunia kedua pun (perang kemerdekaan) banyak eks tentara Belanda yang pensiun menetap di sini.

Bukan hanya itu setelah Indonesia merdeka, kawasan Kemayoran kemudian didatangi masyarakat perantau yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, NTT dan NTB., serta daerah lainnya. Bahkan bangsa lain, semacam Cina dan Arab juga tak mau ketinggalan untuk tinggal di wilayah ini.

Dari perspektif sejarah itu, yang di mulai dari masa Batavia hingga Jayakarta kemudian, serta membaurnya etnis yang ada menjadikan dinamika sosial, ekonomi dan kebudayaan kampung tua Kemayoran cepat tersiar.

Tersebutlah misalnya di masa Daendels berkuasa, tuan tanah kaya raya ada di Kemayoran, seperti misalnya Rusendal, H Husein Madani, Abdullah dan De Groof. Mereka adalah orang kaya yang membeli tanah penguaasa Belanda di wilayah ini untuk membiayai pembangunan jalan darat Anyer-Panarukan.

Mereka tuan tanah itu kebanyakan berasal dari golongan Arab, Cina, maupun Belanda sendiri. Bahkan di sekitar masa itu pula, muncul tokoh-tokoh Jago Kemayoran, seperti misalnya Murtado dan Djiong (Macan Kemayoran?).

Di luar itu dalam perkembangannya muncul juga kesenian yang cukup dikenal luas ketika itu, yakni Keroncong Kemayoran, selain juga Gambang Kromong, Wayang Kulit dan Der Muruk. Malah kesenian semacam ini merupakan favorit masyarakat betawi Kemayoran yang amat digemari.

Seiring waktu berjalan, kampung tua Kemayoran yang semula di pimpin oleh seorang lurah (wijkmeester), lalu di masa sesudah kemerdekaan menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Sawah Besar, Kawedanaan Penjaringan, Walikota Jakarta Raya. Malah pada tahun 1963-1968 Kemayoran dimasukan ke dalam wilayah Kecamatan Senen, Walikota Jakarta Raya. Selanjutnya di tahun 1968 itu juga Kemayoran di jadikan wilayah Kecamatan yang meliputi lima kelurahan, yakni Gunung Sahari Selatan, Kemayoran, Kebon Kosong, Serdang dan Harapan Mulia.

Namun kini di tahun 2012 ini Kemayoran tumbuh dengan pesat. Kecamatan Kemayoran terdiri dari 8 kelurahan, 77 RW dan 1031 RT, sedangkan Kelurahan yang tercatat di Kemayoran ini yakni Harapan Mulya, Cempaka Baru, Sumur Batu, Serdang, Utan Panjang, Kebon Kosong, Kemayoran, dan Gunung Sahari Selatan.

Sebagaimana diketahui Kelurahan terluas di wilayah ini ada di kelurahan Gunung Sahari Selatan, dengan luas wilayah mencapai 1,53 Km2 atau 21,11% dari luas wilayah Kecamatan Kemayoran (7,25 km2). Sementara jumlah penduduk menurut data Kecamatan Kemayoran tahun 2010 lalu, sekitar 187.491 orang.

Sayangnya sisa kampung tua Kemayoran yang disebut dalam berbagai literature itu, baik typikal rumah tinggal maupun kesenian yang pernah jaya dulu, sulit di jumpai sekarang ini. Padahal di kampung ini sempat muncul tokoh seni, semisal Benyamin Sueb dan lainnya.

Kecuali itu, kampung tua Kemayoran sekarang telah tumbuh demikian pesat dengan beragam persoalannya, mulai kepadatan penduduk, pemukiman yang rapat, pedagang kaki lima di titik jalan tertentu hingga aliran kali sentiong yang kerap dipenuhi sampah setiap harinya. Namun begitu toh Kemayoram masih tetap dikenal masyarakat domestik dan mancanegara karena Pekan Raya Jakarta (PRJ) diselenggarakan di areal bekas bandara Kemayoran seluas 44 hektar sejak 1992 lalu.

sumber : sosbud.kompasiana.com