Senin, 06 Agustus 2012

Kemayoran Sebagai Kampung Tua di Jakarta


Nama kampung Kepu dan kampung Serdang mematri sahihnya Kemayoran sebagai kampung tua di Jakarta. Serdang dan Kepu adalah nama jenis tumbuh-tumbuhan.

Adapun Kemayoran sendiri adalah kawasan yang di bawah otorita administrasi yang dipimpin seorang Mayor. Mayor di sini adalah kepangkatan dalam jabatan adiministrasi kotapraja Batavia tempo dulu.

Berbatasan dengan Kemayoran adalah Sunter. Di tahun 1950-an Sunter adalah daerah persawahan.

Karena itulah Belanda mendirikan lapangan terbang di Kemayoran karena di sekitarnya membentang sawah ladang yang luas, sehingga tidak meng- ganggu naik dan mendaratnya pesawat.

Adanya lapangan terbang Kemayoran merupakan tempat rekreasi tersendiri bagi penduduk Jakarta. Apalagi di bulan puasa, penduduk banyak yang ke Kemayoran menonton turun-naiknya pesawat.

Ketika pesawat terbang mengangkasa, khayalan pun ikut melayang, kapan kiranya dapat naik kapal terbang. Dan tidak sekadar berlarian di kampung tatkala kapal terbang melayang di udara, anak-anak juga berteriak, "kapal terbang minta duiiit!".

Biasanya anak-anak dan dewasa nonton kapal terbang dengan berkendaraan sepeda dari rumah. Penat melihat kapal terbang, lalu sepeda dikayuh mengitari persawahan di Sunter. Bapak dan Ibu tani menyiangi ilalang sawah seraya bernyanyi, "ja lolo ja, ja eman tok". Seperti bahasa Sunda memang, tapi itulah ekspresi Betawi lama sejak bernama Nusa Kalapa.

Mengetahui penduduk begitu besar minatnya ingin naik pesawat terbang, pihak Garuda Indonesia Airways di tahun 1950-an pernah memberikan kesempatan kepada mereka untuk ikut terbang selama 15 menit untuk melihat Jakarta dari udara dengan ongkos Rp 25. Tapi perongkosan itu masih terasa besar bagi penduduk, karena ketika itu harga semangkuk bubur Rp 0,25 atau 25 sen.

Pelabuhan udara Kemayoran memang tempat rekreasi. Bagi mereka yang berduit, restoran di pelabuhan udara menyediakan musik jazz untuk menghibur tamu. Musikus kondang seperti Iskandar pernah main di sini.

Seperti menjadi suratan takdir, Kemayoran memang bumi seniman dan budayawan. Sutejo, pengarang lagu Tidurlah Intan, adalah anak Kemayoran--ia "Jawa Betawi". Penulis Ramelan juga anak Kemayoran. Seperti halnya Sutejo, ia juga "Jawa Betawi".

Sineas Syumanjaya adalah anak Kemayoran asli. Pemusik Maruti, yang seangkatan dengan Ismail Marzuki, juga kelahiran Kemayoran. Dan tentu saja seniman Betawi Benyamin S, adalah putra Kemayoran.

Ingat Kemayoran, ingat keroncong. Orang sering alpa, keroncong Kemayoran bukan aliran musik keroncong, melainkan nama lagu belaka. Namun dulu memang anak-anak Indo Kemayoran senang bermain keroncong malam hari di sepanjang jalan-jalan di Kemayoran. Mereka dijuluki "buaya keroncong".

Seperti halnya di kawasan "Betawi tengah" lainnya, di Kemayoran dulu banyak tinggal orang-orang Belanda. Tak sedikit di antara mereka yang menikah dengan orang Betawi, baik pria, maupun wanitanya.Sebuah pabrik obat-obatan yang berdiri sejak jaman Belanda, Naspro, menjadi indikator tersendiri bagi Kemayoran. Naspro menjadi "patokan" bila orang mencari sesuatu alamat di daerah Kemayoran.

Kampung Kemayoran mempunyai warna Betawi yang kental: ada pengajian dan ada tempat maen pukulan. Namun kini Kemayoran berubah wajah. Pelabuhan udara sudah tak ada. Dan di bekas kawasannya berdiri gedung-gedung modern yang tidak beraturan. Namun ramainya Kemayoran dulu agak tergantikan oleh Jakarta Fair setiap tahun yang berlokasi tetap di sini.

Tapi masa lalau tak kan kembali. Penduduk asli makin menipis populasinya, walau masih ada yang bertahan. Kebetawian Kemayoran tersalurkan, perilaku dan bahasa pergaulannya, ke Sumur Batu dan Kabel. Di sini terdapat lokasi (baru) gedung sandiwara Sunda Miss Cicih.

Sebelumnya Miss Cicih berlokasi di Kramat Raya. Meskipun Miss Cicih berbahasa Sunda, tetapi Miss Cicih merupakan salah satu trade mark Jakarta. Banyak pelancong terutama dari Jawa Barat yang datang ke Jakarta khusus menonton Miss Cicih.

Orang Betawi pun banyak yang menyukai Miss Cicih, karena generasi lama Betawi banyak yang mengerti bahasa Sunda. Dan lantas, bagaimana memisahkan Betawi dengan mandala budaya dan sejarah kerajaan Sunda Pajajaran. Bukankah dulu, menurut naskah kuno Wangsakerta, orang Betawi punya kerajaan Tanjung Jaya di Tanjung Barat, Jakarta Selatan, yang merupakan kerajaan "bawahan" Pajajaran?

Pintu Besi merupakan akses orang Kemayoran ke Pasar Baru dan Kota. Dulu di sini memang pernah ada pintu besi sebagai bagian dari defensielijn (garis pertahanan) van de Bosch di masa kolonial. Pintu Besi begitu terkenalnya bagi orang Betawi sehingga tercipta seloka yang satyristic:

Jalan-jalan ke Pintu Besi Makan ketupat sayurnya basi.. Barangkali mungkin benar, orang Betawi kini bagai orang makan ketupat yang sayurnya basi. Siapuuuuh...!

Ridwan Saidi, budayawan
prides-online.com