Rabu, 15 Agustus 2012

Orang di Balik Jakarta Fair Kemayoran


Pekan Raya Jakarta atau Jakarta Fair untuk siapa? Dulu, pertama kali diadakan, 1968, oleh Gubernur DKI Jakarta kala itu, Ali Sadikin.

Djakarta Fair dimaksudkan sebagai "pesta rakyat", memadukan sebuah pasar malam dengan arena promosi berbagai produk.

Konsep itu sendiri disusun melalui sebuah survei. Pada 1967 Bang Ali mengundang badan PBB UNIDO/UNDP untuk diminta melakukan survei, seperti apa sebuah "pesta rakyat" untuk Jakarta selayaknya. Rekomendasi badan PBB itulah yang kemudian dijadikan acuan oleh para pelaksana Djakarta Fair (DF) di bawah pengawasan Bappenas.

Djakarta Fair ketika itu dijabarkan sebagai acara "yang merupakan upaya pendidikan bangsa bagi kewirausahaan dan sekaligus rekreasi budaya bagi masyarakat DKI Jakarta untuk meningkatkan apresiasi [masyarakat pada] hasil kebudayaan, kerajinan, dan kesenian secara lebih baik".

(Dikutip dari Ali Sadikin, Visi dan Perjuangan sebagai Guru Bangsa, Universitas Trisakti, Jakarta, 2004)

Dengan demikian Jakarta Fair (JF) memang tergantung bagaimana konsep awal ditafsirkan oleh para pelaksana. Dari 1968, JF awal, hingga 1991 sewaktu masih diselenggarakan di lapangan Monas, Jakarta Fair bisa dibilang tak banyak berubah.

Boleh jadi karena keterbatasan lahan di Monas (hanya bisa dipakai sekitar 7 Ha), perkembangan tak mudah dilakukan. Baru setelah JF dipindah di Kemayoran, 1992 (disediakan lahan 44 ha), di bekas lapangan udara, "pesta rakyat" ini pun terbuka dikembangkan.

Di Kemayoran, oleh sebagian orang JF dibilang lebih berkembang bisnis retailnya daripada apresiasi kebudayaannya. JF tak ubahnya Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang yang diperluas, kata mereka. Tak lagi acara kesenian Betawi atau daerah yang lain tampil hampir di setiap sudut seperti ketika Jakarta Fair masih di Monas.

Yang jelas, sejak Jakarta Fair 2004 -ketika "pesta rakyat" ini mulai diselenggarakan oleh Jakarta International Expo yang mengelola bekas bandara Kemayoran sejak 2003- perkembangan jumlah pengunjung nyata terlihat. Pada 1968, selama dua pekan Jakarta Fair dikunjungi sekitar 1,4 juta orang (sekitar 31% dari penduduk Jakarta waktu itu yang sekitar 4,5 juta).

Pada Jakarta Fair 2012 yang digelar Juni lalu, selama sekitar sebulan Jakarta Fair dikunjungi lebih dari 4,5 juta orang (sekitar 47% penduduk Jakarta yang lebih dari 9,5 juta). Mestinya, data pengunjung ini mencerminkan pula kuantitas -dan kualitas- pameran yang meningkat pula.

Jumlah peserta pun, sejak JF dipindahkan di Kemayoran meningkat: para 2006 JF diikuti lebih dari 1.600 peserta, dan pada 2012 Juni lalu 2.650 peserta. Jadi benarkah JF kini jauh dari "pesta rakyat" dan lebih diarahkan menjadi arena bisnis?

Untuk itu VENUE mengundang Ralph Scheunemann, direktur pemasaran Jakarta International Expo, penyelenggara Jakarta Fair sejak 2004, untuk bincang-bincang seputar Jakarta Fair. Pria yang sebaya dengan Jakarta Fair (JF) ini, 44 tahun, merupakan Tamu Kita ketiga.

Berikut bincang-bincang warga negara Jerman kelahiran Batu, Jawa Timur ini dengan redaksi VENUE di awal Agustus lalu.

Yang pertama-tama diusahakan Ralph Scheunemann sejak ia menangani JF 2004 adalah membuat "pesta rakyat" ini nyaman dan aman bagi pengunjung. Tujuannya, agar pengunjung meningkat dan dengan demikian kemungkinan terjadi transaksi bisnis di JF lebih besar.

Itu dalam hal “urusan ke dalam”. Untuk “urusan ke luar”, Scheunemann  melakukan promosi antara lain dengan mengiklankan acara ini di berbagai media, misalnya di Majalah Garuda. Juga, mengikuti perkembangan, Scheunemann memanfaatkan media sosial seperti facebook dan twitter.

Selain itu, ia mengundang staf berbagai kedutaan negara asing di Jakarta, dan perwakilan perusahaan multinasional untuk mengunjungi JF.  "Kami ingin menjadikan Jakarta Fair dikenal juga oleh Asia Tenggara, terutama dan dunia, umumnya, karena ini merupakan pameran terbesar, tertua dan terlama di Indonesia", kata Ralph Scheunemann. Apa hasilnya?

"Mereka yang datang ke Jakarta Fair, seperti dari Kedutaan Besar Inggris dan presiden perusahaan Coca-Cola, tercengang bahwa mereka tidak pernah melihat pameran yang sebesar  ini",  tutur alumni Jurusan Turisme di Universitas Bournemouth, universitas peringkat "menengah" yang berada di kota Bournemouth, sekitar 160 km barat daya London.

Dari lobi-lobi "kedubes" dan perusahaan itu sejumlah perusahaan asing mengajukan diri untuk ikut dalam JF. Dalam JF 2012 ini misalnya, sepeda motor terkenal dari Italia (yang sudah berpabrik di Indonesia) Ducati, untuk pertama kalinya hadir di JF. Beberapa perusahaan dari Cina, juga Taiwan sudah meminta untuk ikut bergabung di JF, namun belum mendapat tempat.

Sedangkan pengunjung, selain terundang lewat iklan dan media sosial, juga berita-berita di media massa, JF yang sudah lebih dari 40 tahun diadakan secara rutin mestinya sudah menjadi acara rutin warga ibu kota pula.

Yang masih diharapkan oleh Ralph Scheunemann, JF bisa seperti Festival Oktober di Muenchen yang juga acara tahunan.Maksud warga negara Jerman itu, sebulan sebelumnya Festival Oktober sudah dipromosikan di seantero Eropa, hingga begitu acara dibuka, turis dari berbagai negara datang di Muenchen.

JF belum seperti itu, misalnya dipromosikan di ASEAN, dan menjadi salah satu tujuan wisata warga ASEAN. Kunjungan staf kedutaan negara-negara ASEAN di Jakarta ke JF, tampaknya tak otomatis menjadi iklan JF di negara kedutaan terkait.

Lalu kenapa pihak penyelenggara JF, Jakarta International Expo, tak melakukan promosi ke negara-negara ASEAN? Direktur pemasaran JIExpo ini cuma angkat bahu.

Ini bisa ditafsirkan, pihaknya mesti hemat biaya. Atau, ada lembaga lain yang mestinya melakukannya karena ini menjadi kewajiban lembaga tersebut, misalnya JF dimasukkan dalam paket promosi dinas pariwisata.

Bila JF pun sudah menjadi acara rutin wisatawan asing, setidaknya turis ASEAN, pemerintah juga diuntungkan karena ada pemasukan devisa. Ralph Scheunemann yakin, turis asing yang sempat mencicipi JF akan kembali lagi dan secara suka rela mereka akan mempromosikan ke teman-temannya.

Ini karena JF sudah berkualitas internasional, setidaknya mulai JF 2012 ini : nyaman dan aman. Nyaman, karena upaya menjadikan arena JF bersih sejak diadakan di Kemayoran -dengan menyebarkan ribuan petugas kebersihan- berhasil "mendidik" pengunjung.

"Sekarang pengunjung merasa segan untuk buang puntung rokok sembarangan. Juga, sudah tidak ada lagi brosur-brosur berceceran di area Jakarta Fair", katanya bangga. "Kalau ada yang buang ini dan itu, hanya satu dua, dan petugas kami akan cepat memasukkan ke tempat sampah".

Satu hal lagi, parkir JF bebas pungutan liar. (Di kawasan Gelanggang Olahraga Bung Karno, termasuk di Jakarta Convention Center, pungutan liar parkir seperti dibiarkan, bahkan terasa seperti "dipelihara")

Juga, JF aman ; petugas keamanan secara terselubung menjaga tiap meter persegi JF. Konon untuk JF disiapkan 4.000 petugas keamanan. Bila luas seluruh JF 44 Ha (440.000 m2), per 110 m2 ada seorang petugas keamanan.

Praktiknya, seorang petugas keamanan menjaga luas area kurang dari 100 m2, karena sebagian area dianggap aman, misalnya karena stan-stan tertentu mempunyai petugas masing-masing.

Kini, hampir bisa dikatakan Ralph Scheunemann tak perlu mencari peserta JF. "Tahun ini saja, ada 100 perusahaan lokal yang masuk dalam waiting list", katanya. Itu sebabnya, meski tidak ditolak, permintaan peserta dari luar negeri, misalnya dari Cina , Korea Selatan, dan Taiwan belum diproses.

"Loh, yang lokal saja ada yang waiting list, kenapa menerima yang luar?", katanya. "Inikan pameran Jakarta". Ia baru akan memproses permintaan dari luar bila area JF diperluas. Namun usual ini tak kunjung dikabulkan. "Seandainya saya bisa menambah hall lagi.." cetusnya.

Ralph Scheunemann bekerja keras dan kreatif bukan semata untuk pribadi atau untuk JIExpo. Ia menganggap Jakarta Fair harus didukung semua pihak.

"Jakarta Fair ini meningkatkan devisa negara, transaksi tahun ini misalnya, lebih dari Rp 4 miliar", katanya bersemangat. "Lagi pula Jakarta Fair menyerap banyak tenaga kerja, kontraktor juga menerima pekerjaan".

"Mereka yang datang ke Jakarta Fair, seperti dari Kedutaan Besar Inggris dan presiden perusahaan Coca-Cola, tercengang bahwa mereka tidak pernah melihat pameran yang sebesar  ini".

Salut untuk Herr Scheunemann, tapi perlu juga kembali diingat pasal yang ini : bahwa JF juga dimaksudkan "..untuk meningkatkan apresiasi [masyarakat pada] hasil kebudayaan, kerajinan, dan kesenian secara lebih baik".

Mestinya ini tak sulit, hanya tergantung political will penyelenggara, termasuk Pemda Provinsi DKI Jakarta ***

Data Pribadi :
Nama: Ralph Scheunemann, warga negara Jerman
Lahir: di Batu, Malang, Jawa Timur, 13 Februari 1968
Pendidikan : setelah lulus SMA Lab-School, Malang, meneruskan di Universitas Bournemouth, Inggris, mengambil jurusan manajemen turisme.
Pekerjaan : Pernah menjadi assistance executive Hotel Santika, Jakarta, bekerja di perusahaan multi level marketing di Singapura, sebelum pada 2002 bergabung di Jakarta International Expo, sebagai direktur pemasaran.

Sumber : http://venuemagz.com