Rabu, 27 Juli 2011

Bahtiar si Tukang Pompa


BUYUT SANG MACAN KEMAYORAN

Lelaki berkulit gelap dengan perawakan kecil itu bernama Bahtiar. Aktivitas kesehariannya hanyalah sebagai tukang pompa. Namun siapa mengira bahwa dirinya adalah salah satu buyut dari Bek Kuru' alias Haseni Sang Macan Kemayoran yang legendaris itu.

Saat ditemui penulis, Bahtiar memaparkan cerita dari kakeknya, bahwa dulu tidak sedikit para jawara yang memperoleh manfaat secara keilmuan dari Bek Kuru'. Bahkan konon pendekar Pitung kerap bertandang ke tempat Bek Kuru'. Hal demikian dimungkinkan lantaran buyutnya itu memang tersohor sebagai jawara tiada berbanding di jamannya

Suatu kelaziman kala itu bahwa pada saat-saat tertentu para pendekar Betawi senantiasa berkumpul dalam momen judi sintir ; yakni jenis permainan judi perpaduan antara dadu dan gasing. Adapun biasanya penyelenggaraannya berbarengan dengan semacam kompetisi persilatan. Dimana pada sebuah tanah lapang, para jawara duel satu lawan satu dengan tujuan mengukur kemampuan ilmu bela diri sekaligus menaikkan "maqom" kejawaraannya.

Dan untuk kedua hal tersebut, eksistensi Bek Kuru' memang seolah tak tergantikan. Dalam ajang duel antar para jawara, Selama bertahun-tahun Bek Kuru' lah pemenangnya. Begitu pula dalam hal judi sintir. Bek Kuru' dikenal sebagai maestro dengan tingkat keakurasian tinggi. Kendati demikian, menginjak usia paruh baya, Bek Kuru' menyatakan mundur dari kegiatan-kegiatan tersebut.

Lantas Bek Kuru' membangun sebuah langgar (mushola) di bilangan Kemayoran, dimana beliau sendirilah yang bertindak sebagai imam sholat sekaligus guru mengaji. Memang sebagai orang Betawi, sedari kecil Bek Kuru' telah akrab dengan dunia keagamaan. Bahkan konon kakek beliau termasuk ulama yang pernah menimba ilmu tasawuf di Handramaut, timur tengah.

Itulah sebabnya, hingga dipenghujung usianya Bek kuru' dikenal sebagai pendekar yang rendah hati. Bertahun-tahun beliau tidak pernah lagi terlibat pertarungan antar jawara apalagi hingga membunuh orang. Hari-harinya dihabiskan untuk beraktivitas di mushola yang didirikannya itu. Namun hal yang demikian tidak serta-merta lantas membuat Bek Kuru' menutup diri dari pergaulan. Dalam beberapa momen duel antar para jawara, sesekali dirinya hadir dan bergabung dibarisan penonton.

Bahtiarpun bercerita bahwa suatu ketika buyutnya dihadang oleh beberapa pendekar dari tanah Selebes. Saat itu Bek Kuru' sedang berjalan kaki sepulang dari musholla. Memang sebagaimana biasanya, setiap Kamis malam seusai shola Isya berjama'ah, Bek Kuru' memimpin do'a dan dzikir hingga larut malam. Mencium gelagat yang membahayakan, lantas para santri yang menemaninyapun segera menyusun barikade demi melindungi keselamatan sang ustadz.

Memang santri-santri yang berguru kepada Bek Kuru' rata-rata juga dibekali ilmu silat Macan Kemayoran yang fenomenal itu. Kendati demikian beliau senantiasa memberi penekanan bahwa kepandaian beladiri tidak serta merta untuk dipertontonkan. Dan wasiat Bek Kuru' ternyata telah meresap kesanubari, terbukti ketika Sang ustadz memberi isyarat agar mereka mundur menjauh, lantas para santri itupun melaksanakannya dengan tanpa berpolemik.

Kedapatan Bek Kuru' bersendirian, salah seorangnya berinisiatif mendekat. Setelah terjadi dialog, segera diketahui bahwa para penghadang itu sesungguhnya bukanlah sekawanan penjahat. Mereka jauh-jauh datang dari Selebes karena berita tentang Macan Kemayoran telah merebak ke antero negeri. Rasa penasaranlah yang telah mengantarkan para pendekar itu hingga ke tanah Betawi. Mereka sengaja mencari Bek Kuru' demi menjajal ilmu Sang Macan Kemayoran yang tersohor itu.

Alhasil para pendekar itupun kecewa pada kenyataan atas mundurnya Bek Kuru' dari dunia persilatan. Diantara kegelapan malam yang mereka jumpai hanyalah sosok lelaki tua kurus lantaran sering berpuasa. Agar pertemuan tidak menjadi sia-sia, terdapat usulan dari para pendekar tanah Selebes agar pertarungan tetap berlangsung antar mereka dengan murid-murid Bek Kuru'. Dan tentu saja usulan tersebut segera direspons secara antusias oleh para santri.

Mengetahui hal yang demikian, serta merta Bek Kuru' pun membolehkan mereka bertarung asalkan tidak terjadi pertumpahan darah diantara kedua belah pihak. Lantas pimpinan kelompok pendekar tanah Selebes menerangkan kepada Bek Kuru' tentang kelajiman tradisi mereka bahwa ketika terjadi pertarungan antar jawara, sama sekali tak ada jaminan tidak menimbulkan korban nyawa.

Setelah beberapa saat mempertimbangkan, akhirnya Bek Kuru' mengambil kebijakan bahwa beliau seorang dirilah yang menghadapi pendekar tanah Selebes itu. Bahkan beliau mempersilahkan mereka menyerang secara sekaligus. Serta merta keputusan kontroversial itu mendapat protes dari kedua belah pihak, tidak terkecuali para santrinya. Bagaimana tidak, Sang Macan Kemayoran yang telah renta itu harus melawan keroyokan lebih dari sepuluh orang pendekar tanah seberang yang perkasa.

Singkat cerita, kedapatan para pendekar itu telah memasang kuda-kuda mengepung Bek Kuru'. Sementara Sang Macan Kemayoran tetap dalam posisi berdiri seraya kepala tertunduk. Salah seorang diantara mereka berinsiatif menyerang dengan senjata yang terhunus. Namun apa yang terjadi ? Belum lagi dia berhasil menyentuh tubuh Bek Kuru', mendadak tubuhnya terpental kebelakang dan jatuh terduduk. Peristiwa itu membuat penasaran kawannya. Maka seorang pendekar kembali maju mendekati pemilik tubuh gaek itu. Lagi-lagi terjadi hal yang serupa, bahkan dia terpelanting dan menindih kawannya yang masih kesakitan itu.

Menyikapi hal tersebut, lantas sang pimpinan memberikan aba-aba agar mereka menyerang secara bersamaan. Kali ini hasilnya agak berbeda, dalam radius dua meteran mendadak langkah mereka terhenti, tubuh para pendekar tanah Selebes itu kejang dan kaku tiada daya. Mereka laksana manequin yang mengelilingi Sang Macan Kemayoran. Selama kira-kira satu jam mereka dalam keadaan demikian, akhirnya Bek Kuru' agak menengadahkan wajah dan mengangkat kedua tangannya. Hasilnya, para pengepungnya itupun menjadi lunglai dan jatuh secara hampir bersamaan.

Beberapa saat kemudian, secara terhuyung-huyung merekapun bangkit dan menjauh. Rupanya mereka masih belum puas akan apa yang telah disuguhkan oleh Bek Kuru' tadi. Masih dalam keadaan sempoyongan, lantas mereka memasang kuda-kuda dengan maksud hendak mengadakan serangan kembali. Saat itulah Bek Kuru' berkata bahwa dirinya akan memperagakan kembali ilmu Macan Kemayoran lainnya sebagai penjawab rasa penasaran mereka.

Kemudian Bek Kuru' terlihat menggerakan kedua tangan, sebagaimana tarian silat pada umumnya. Belum lagi para pendekar itu sempat melakukan apa-apa, tiba-tiba Bek Kuru' berteriak seraya menjejakkan kaki kanannya ke bumi sebanyak tiga kali. Seketika itu dari bekas pijakan tersebut muncul semacam kabut dan bergerak kepelbagai arah. dan secara tanpa terduga terdengar pula raungan harimau yang memekakkan telinga. Bersamaan dengan usainya suara tersebut, mendadak tubuh-tubuh para pendekar tanah Selebes itu terpental beberapa meter kebelakang.

Disaat itu pulalah para santri Bek Kuru' menghampiri tubuh-tubuh yang telah terkapar itu untuk diberi pijatan-pijatan pemulihan. Seiring dengan kembalinya stamina, usai pulalah rasa penasaran dihati para pendekar tanah seberang itu. Lantas merekapun berpamitan  setelah sebelumnya menawarkan jalinan persaudaraan antar pulau serta memohon kesediaan Bek Kuru' agar berkenan mengajarkan ilmu Macan Kemayoran kepada mereka kelak ketika mereka datang kembali ke tanah Betawi.

Diakhir perbincangan, Bahtiar menjelaskan bahwa konon Bek Kuru' telah sampai pada kerahayuan, yakni suatu ilmu langka yang dimiliki oleh sedikit pendekar di seluruh antero negeri. Semisal jikalau ada yang memiliki ilmu silat betapapun hebatnya, maka dihadapan Bek Kuru' ilmu beladiri yang dimilikinya itu lantas sirna. Oleh karenanya akhirnya diketahui bahwa sesungguhnya tidaklah sulit bagi Sang Macan Kemayoran untuk melumpuhkan lawan-lawannya. Kendati demikian Bek Kuru' senantiasa cenderung untuk menghindari benturan fisik. Itulah sebabnya, hingga akhir hayatnya Bek Kuru' dikenal dengan pendekar yang rendah hati. [ Bram-Heri ]

Tidak ada komentar: