Sabtu, 01 Januari 2011

Jejak Saham Negara di Kemayoran


Kemayoran tempo dulu merupakan sebuah kampung yang meliputi Serdang, Sumur Batu, Utan Panjang, Kebon Kosong, Kepu, Gang Sampi, Pasar Nangka, dan Bungur.

Pembangunan di berbagai sektor menjadikan kampung itu ramai dan dipadati penduduk. Kini tanah sawah, empang, dan rawa tak ada lagi, berganti menjadi permukiman dan salah satu kawasan perniagaan, Jakarta Pusat.

Sejak zaman kolonial Belanda, tanah di kawasan itu telah diperjualbelikan. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, dalam rangka mencari dana untuk pembangunan jalan Anyer-Panarukan, tanah Kamayoran menjadi objek jual-beli orang-orang kaya kelompok Cina, Arab, dan Belanda. Antara lain Rusendal, H. Husein Madani (indo-Belanda), Abdullah, dan De Groof.

Pasca-kemerdekaan, di kawasan itu pernah dibangun bandar udara internasional. Seiring dengan perkembangan Ibu Kota, terjadilah penetapan alih fungsi Kemayoran menjadi kawasan perniagaan. Namun, pada akhir 1980-an, sebagian kawasan seluas 454 hektare itu sempat diperuntukkan bagi kegiatan sosial.

Menurut hasil inventaris Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas aset Sekretariat Negara (Setneg) pada 1988-1994, Badan Pengelola Kompleks Kemayoran (BPKK) telah memberikan hak penggunaan tanah kepada empat pihak. Mereka adalah Perum Perumnas, Yayasan Jakarta Fair, Yayasan Olahraga Tenis, dan Yayasan Gamatis.

Pada waktu itu, kavling dilepas jauh di bawah harga pasar, dengan alasan akan dipakai untuk kegiatan sosial. Ternyata tidak seluruh tanah digunakan sesuai dengan peruntukannya. Tanah dijual kepada pihak swasta dengan harga komersial. BPK mensinyalir, ada kerugian negara dalam jumlah besar. Info ini terkuak setelah pada semester II tahun 2000, BPK memeriksa kegiatan BPKK dan Direksi Pelaksana Pengendalian Pembangunan Kompleks Kemayoran (DP3KK).

Berdasarkan pemeriksaan atas kegiatan BPKK dan DP3KK tahun anggaran 1996/1997 hingga 1999/2000, terjadi penyimpangan yang merugikan negara Rp 30 milyar. Aroma ketidakberesan mencuat sejak aset Setneg cq BPKK itu, sesuai dengan Keppres Nomor 53/1985 yang diubah dengan Keppres Nomor 73/1999, harus dimanfaatkan untuk mencapai hasil guna yang besar bagi kepentingan masyarakat, negara, dan lingkungan.

Pemerintah, melalui Setneg, menjalin kerja sama dengan pihak swasta. "Ada sekitar 60 perusahaan swasta yang menjalin kerja sama dengan Setneg," kata Agus Surono, Kepala Divisi Hukum dan Humas Pusat Pengelolaan Kompleks Kemayoran (PPKK). Dari sekitar 60 mitra kerja sama, ada 27 yang bermasalah.

Dari penelusuran bentuk kontrak, ada tiga model kerja sama. Pertama, kerja sama melalui pola pemanfaatan lahan dengan masa waktu kontrak 25 tahun dan dapat diperpanjang sebagaimana umur hak guna bangunan (HGB). Namun, dalam perjanjian itu, terselip banyak titik kelemahan. Antara lain, bagaimana share modalnya dan pembagian keuntungan atau bagi hasilnya.

"Karena banyak perhitungan yang tidak jelas, maka kami menggunakan tenaga akuntan," ujar Agus. Alasannya, selama ini kontrak kerja sama itu memosisikan PPKK dalam situasi yang lemah dan cenderung menguntungkan mitra. Oleh sebab itu, PPKK mencoba membenahinya. "Termasuk dengan PT Jakarta International Expo (JIE)," Agus menambahkan.

Ke depan, PPKK akan mempercepat renegosiasi terhadap mitra kerja sama yang tidak menguntungkan. "Renegosiasi ini akan memunculkan dua kemungkinan," kata Agus. Jika masih mampu, akan diberikan kesempatan untuk menyelesaikannya. Jika tidak, perlu diambil alih dan dioptimalkan melalui kerja sama dengan mitra lainnya lewat tender terbuka.

Bentuk kerja sama kedua, menurut Agus, melalui pola penyerahan penggunaan tanah. Namun hal itu disalahartikan beberapa mitra, yang beranggapan seolah-olah tanah tersebut sudah dijual, padahal maksud PPKK berbeda. "Kesannya, pola ini setelah diserahkan ke mitra menjadi kewenangan mutlak mereka. Padahal, pola seperti itu salah," Agus menegaskan.

Pembatasan penggunaan tanah Kemayoran seumur HGB. Menurut Agus, menajemen JIE tak punya hak memperpanjang HGU secara otomatis. "Perpanjangan umur HGB itu menjadi kewenangan penuh PPKK," katanya. Acuannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 40/1996 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

Pola kerja sama ketiga berbentuk sewa. Ke depan, pola seperti ini akan dijadikan acuan, mana yang menguntungkan PPKK sebagai penerima amanah mengelola aset negara. "Misalnya kerja sama lewat BTO dan pola lainnya yang bisa dihitung secara rinci," ujar Agus.

Dari luas lahan 454 hektare itu, yang telah disertifikatkan atas nama Setneg adalah 418 hektare. Sisanya, 35 hektare, dalam proses pembebasan tanah. "Artinya, masih dikuasai masyarakat, maka akan dibebaskan semua," tutur Agus. Dari seluruh kerja sama PPKK dengan pihak swasta, sekitar 60%-nya disewakan kepada mitra kerja sama. "Semuanya dikelola swasta," katanya.

Mengenai JIE, kata Agus, yang terbesar berada di Blok C-6, di kawasan Pekan Raya Jakarta seluas 44 hektare milik Hartati Murdaya. Dibeli dari William Soeryadjaya melalui PT Central Cipta Murdaya (CCP). Harganya sangat murah setelah ditetapkan pailit oleh pengadilan. Padahal, sebenarnya tidak pailit karena perusahaan itu, menurut Agus, dibubarkan, lalu diambil alih PT CCP pada 2004.

Sampai kini, hasil keuntungannya tidak diserahkan kepada PPKK, yang punya saham 5%. "Sejak 2004 sampai sekarang, kami tidak mendapat pemasukan apa pun dari JIE," kata Agus, sembari menyatakan bahwa Direktur Utama PPKK, Mayjen (purnawirawan) Hendarji Supandji, pernah bertemu dengan manajemen JIE. Isinya adalah pembicaraan tentang masalah saham 5% itu.

Pada prinsipnya, PPKK ingin ada perjanjian jelas dengan JIE. Pasalnya, JIE hanya mendapatkan perjanjian dari pihak lain, yakni PT JITC, kemudian JITF, tempat PPKK memiliki saham 5%. Kini bentuk kerja sama PPKK dengan JIE belum ada. Ke depan, menurut Agus, akan dihitung pembagian keuntungan dengan pihak swasta apakah wajar atau tidak. "Kalau tidak wajar, akan dievaluasi," ujarnya.

Jika dihitung, keuntungan yang diperoleh PPKK dari aset yang dipinjamkan kepada swasta mencapai Rp 1 trilyun per tahun. Namun, karena macet, sejak 1990 PPKK memperoleh kurang dari Rp 500 milyar. "Oleh sebab itu, kami akan membenahinya," kata Hendarji.

Terkait masalah penyetoran 5% saham PT JIE milik Hartati Murdaya kepada PPKK, Hendarji menyatakan akan mempercepat penyelesaiannya. Sejak 13 Oktober lalu, KKPP telah melakukan penjadwalan pemanggilan kepada 27 mitra bermasalah. Sebelum akhir November 2010, diharapkan masalah itu rampung.

Untuk menyelamatkan tanah Kemayoran, Komisi II DPR-RI membentuk Panitia Kerja (Panja) Aset-aset Negara. DPR sempat mengundang Direktur Utama PT JIE, Hartati Murdaya, ke Senayan, 5 Oktober lalu. Aggota Komisi II DPR Ganjar Pranowo beranggapan, upaya menyelamatkan tanah Kemayoran dengan cara minta keterangan pihak swasta itu tidak akan menghasilkan apa-apa.

Ketimbang terus bertanya kepada pihak swasta, Ganjar berpendapat, perlu ada audit investigasi untuk menelusuri di mana 5% saham milik negara itu. "Kalau ternyata audit menunjukkan bahwa aset itu lepas sesuai dengan prosedur, DPR harus mengikhlaskannya. Tapi, kalau ternyata ada indikasi korupsi, ya, KPK harus selesaikan," katanya.

Selain menjaga keberadaan aset negara, Panja Aset-aset Negara juga berkeinginan agar dilakukan investigasi atas dugaan pidana dalam hal pengelolaan aset-aset itu. "Contohnya, ada HGB atas HPL (hak pengelolaan lahan) yang diagunkan pada bank tanpa rekomendasi dari Setneg," ungkap Gamari Sutrisno, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.

Panja Aset-aset Negara mendesak PT JIE untuk mengembalikan 5% saham negara. Versi JIE yang ditangkap Gamari, perusahaan itu membeli hak tagih dari lelang pengadilan yang memang tidak menyebutkan bahwa pembeli harus mengembalikan 5% saham pemerintah. Keyakinan JIE ini menjadi indikasi hilangnya saham pemerintah.

"Seharusnya dia tahu riwayat lahan tersebut eks negara. Tidak mungkin mereka tidak tahu, walaupun jawabannya kepada kami selalu tidak tahu," kata Gamari. Karena itu, Panja Aset-aset Negera memberi tenggat agar persoalan itu selesai sebelum 21 Oktober. Bila belum tuntas, DPR berniat melimpahkannya ke Kejaksaan Agung karena ada dugaan penggelapan aset negara.

arsip.gatra.com