Rabu, 21 November 2012

Kelas SLB Di Kepu Dalam, Sebesar Kamar Mandi


Seiring dengan besarnya alokasi dana pendidikan, ironi bahkan masih terus terjadi. Bayangkan, di Ibu Kota negara kita, justru para siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri DKI Jakarta harus belajar di ruangan kelas yang berukuran hanya sebesar kamar mandi.

Dalam kelas berukuran 3 x 2 meter dan bahkan 2 x 2 meter, Siswa Tunagrahita, Autis atau Down Syndrome, terpaksa duduk berhimpitan lantaran isinya 3-6 anak. Jarak antara murid dan guru pun hanya beberapa jengkal saja.


Itulah yang terjadi di SLB Negeri 3 di Jalan Kepu Dalam X, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat. Ruangan-ruangan yang ada sudah tidak mampu lagi menampung siswa-siswa berkebutuhan khusus yang belajar di sana.

Bahkan, setiap tahun, pihak sekolah selalu menolak siswa yang hendak masuk karena kekurangan kelas. Ruangan yang ada pun harus disekat-sekat menjadi beberapa ruang kelas kecil untuk mengakomodasi kebutuhan belajar mengajar.

Ironis sekali. SLB Negeri 3 ini menumpang di kompleks sekolah dasar negeri (SDN) yang di dalamnya telah diisi oleh delapan SDN, yakni SDN Kemayoran 01, 02, 03, 07, 08, 15, 16, dan 17. Berimpitan dengan 8 SDN, SLB Negeri tersebut berada di lantai 3 bangunan kompleks gedung sekolah itu.

Di lantai 3 itu ada delapan ruangan. Dua ruangan terdiri dari ruang kepala sekolah dan ruang guru, sedangkan enam sisanya adalah ruang kelas. Plus ruang aula, ruang penjaga sekolah, dan kamar mandi/WC.

Enam ruang kelas dipakai untuk melayani murid SLB mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak (TK), SD, Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Jumlah seluruh murid SLB Negeri 3 adalah 121 siswa. Terdiri dari siswa tingkat SMA sebanyak 12 anak, SMP 17 anak, lalu TK ada 20 anak, dan siswa SD 72 anak.

Satu kelas untuk SLB hanya terdiri dari 5 siswa sampai maksimal 8 anak saja. Bahkan, untuk anak-anak autis dan tunagrahita, biasanya satu kelas terdiri dari 1-3 anak saja.

Pihak sekolah membagi-bagi ruangan yang ada. Tingkat SMP diberi dua ruangan, SMA satu ruangan, TK satu ruangan, dan SD dua ruangan kelas. Setiap ruang ukurannya sekitar 9 x 7 meter.

Sulit Latihan Jalan

Namun, kemudian, ruang-ruang kelas itu harus di sekat-sekat lagi untuk mengakomodasi kebutuhan belajar-mengajar di setiap jenjang. Untuk TK, satu ruangan disekat-sekat menjadi 5 ruangan kelas. Kelima kelas itu dipakai untuk mengajar siswa TKLB A dan TKLB B, yang sebagian besar adalah penderita Tunagrahita Sedang dan Down Syndrome.

Tiga kelas disekat menggunakan bahan semacam fiberglass yang di cat hijau dan memiliki pintu. Ukuran tiga ruangan kelas ini sekitar 3 x 2 meter saja.

Sedangkan dua kelas lainnya, memakai sisa bagian depan ruang kelas yang telah di sekat dengan lembaran fiberglass itu. Antar kedua ruangan kelas itu hanya dibatasi sebuah lemari besar.

Kedua ruangan itu memiliki ukuran sekitar 2 x 2 meter. Masing-masing untuk 3 anak Down Syndrome dan 5 anak Tunagrahita.

Saking minimnya ruangan, alat-alat bermain bagi siswa TK itu harus di masukkan ke tempat yang sudah sempit itu. Tampak di salah satu ruangan, sebuah alat bermain berupa tangga yang di pakai untuk merangsang saraf motorik anak terpasang dengan bagian ujung-ujungnya yang terpentok ke penyekat, sehingga anak kesulitan untuk berlatih jalan.

Guru TKLB A, Ida Ahwati, mengatakan bahwa sebenarnya siswa TKLB butuh ruang belajar lebih besar, terutama bagi penderita Tunagrahita sedang. "Di TKLB B, ada dua anak yang jalannya masih timpang. Kalau ruangannya luas, anak-anak itu bisa menggunakan alat-alat secara maksimal untuk memperbaiki saraf motoriknya", ujar Ida, Selasa (20/11).

Kelas Pagi - Siang

Pemandangan serupa terlihat di dua ruangan untuk SMPLB. Kedua ruangan itu di sekat-sekat menggunakan bahan fiberglass. Satu ruangan dibagi lagi menjadi tiga kelas, dan satu ruangan lainnya disekat menjadi empat kelas, karena ditambah ruang komputer dan perpustakaan.

Ruang komputer dan perpustakaan hanya berupa lorong memanjang sekitar empat meter dengan lebar sekitar 1,5 meter. Pantauan Warta Kota, kemarin pagi, sejumlah anak tampak berhimpitan dalam posisi memanjang ketika belajar di ruang perpustakan itu.

Untuk tingkat SMA lebih memprihatinkan lagi. Bahkan ruangan yang tadinya merupakan dapur pun di sulap menjadi kelas. Itu pun masih di bagi lagi dengan sebuah meja panjang yang dipakai untuk kegiatan keterampilan.

Di sana ada tiga ruang kelas yang ukurannya hanya sekitar 2 x 2 meter. Ada yang satu ruangan yang dipakai untuk 6 anak. Ruangan lainnya untuk 4 anak, dan satu ruangan lagi untuk 2 anak Tunagrahita Sedang.

Di ruang kelas itu hanya ada dua meja. Anak-anak tampak kesempitan saat berada di dalam kelas. Jarak antara murid dengan guru ketika sang guru mengajar di depan kelas hanya sekitar dua jengkal orang dewasa saja.

Adapun untuk SDLB, pihak sekolah terpaksa memberlakukan kelas pagi dan kelas siang setiap harinya. Pasalnya, kelas sudah tidak mampu lagi menampung untuk mengajar siswa dalam satu shift yang sama.

Guru SLB Negeri 3 lainnya, Sentono, mengatakan untuk tingkat SMALB baru ada sejak dua tahun lalu, sehingga yang ada sekarang barulah kelas X dan XI. Namun, apabila tahun depan masih membuka tingkat SMA, kata Sentono, pihaknya sudah tidak dapat menyediakan kelas lagi, karena sudah tak ada tempat untuk menyekat atau membagi ruangan lagi.

Tidak Terlayani

Kepala SLB Negeri 3, Sulastri, menjelaskan akibat kurangnya ruang kelas, ada beberapa ruangan yang belum bisa di sediakan di SLB Negeri 3. Ruangan itu antara lain Ruang Bina Diri dan Ruang Bina Komunikasi Persepsi Bunyi.

Selain itu, ujar Sulastri, posisi SLB Negeri 3 yang kini berada di lantai 3, membuat sejumlah penyandang ketunaan yang belum bisa diterima di SLB Negeri 3. "Seperti Tunadaksa yang berat tidak bisa kami terima, karena pasti akan kesulitan untuk naik turun ke lantai tiga. Makanya, beberapa kali ada pendaftar tunadaksa terpaksa kami tolak dan kami arahkan ke tempat lain. Lalu, penyandang tunanetra juga belum bisa kami layani, karena takut terjadi sesuatu ketika siswa turun dan menaiki tangga", ujarnya.

Soal sempitnya ruangan ini, kata Sulastri, dirinya sebenarnya sudah tiga kali mengajukan ke Suku Dinas Pendidikan Dasar Jakarta Pusat. Sebenarnya, kata Sulastri, pihaknya sudah menemukan sebuah lahan di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. "Lahan itu bekas SD Negeri yang kini sudah di tutup, kami ingin pakai lahan itu", ujarnya.

Namun, kata Sulastri, sampai kini belum ada jawaban dari Suku Dinas Dikdas Jakarta Pusat terkait permohonan mereka. "Kalau memang di bolehkan di situ, pasti harus direhab total, sebab bangunan sudah rusak sekali," katanya.

Sulastri menambahkan, ia sudah mengajukan permohonan untuk menempati lahan tersebut sejak 2008 dan 2009, lalu terakhir dia mencobanya lagi pada Juni 2012 ini, tetapi belum ada jawaban dari pihak Sudin Dikdas.

Belum Terima Surat

Terkait hal ini, Kepala Bidang TK/SD/Pendidikan Luar Biasa (PLB) Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Novida, mengatakan pihaknya belum menerima surat permohonan untuk menempati lahan bekas SDN di Benhil itu dari Suku Dinas Pendidikan Dasar Jakarta Pusat. Sebab, kata Novida, ketika di temui Warta Kota di ruang kerjanya, kemarin sore, yang berhak untuk mengajukan permohonan ke Dinas Pendidikan DKI Jakarta adalah Suku Dinas Dikdas Jakarta Pusat.

"Soalnya kan itu wilayah mereka, jadi yang lebih paham, ya, Sudin Dikdasnya. Kalau memang telah ada lahannya, dan itu lahan bekas SDN yang telah dilikuidasi, maka itu bisa dipakai karena punya pemprov tanahnya", ujar Novida.

Nantinya, kata Novida, apabila perbaikannya tergolong rehab berat atau bahkan mesti di bangun ulang, maka yang menanganinya adalah bagian Sarana dan Prasarana dari Disdik DKI. Sedangkan, apabila hanya rehab ringan, maka bisa di tangani langsung oleh Sudin Dikdas Jakarta Pusat.

Tambahan Anggaran

Sementara itu, menanggapi keterbatasan ruang kelas di SLB Negeri 3, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengaku akan menambah ruang kelas tersebut. "Bisa di tambah lah, nanti bisa ajukan penambahan anggaran, biar saya perintahkan untuk melihat ke sana," ujarnya.

Berdasarkan data dari Bidang TK/SD/PLB Dinas Pendidikan DKI Jakarta, di ketahui bahwa hanya ada delapan SLB Negeri di DKI Jakarta. Sedangkan jumlah SLB Swasta jauh lebih banyak, yakni ada 84.

Supono (45), salah satu orangtua murid yang anaknya sekolah di SLB Negeri 3, mengakui bahwa jumlah SLB Negeri di Jakarta tergolong sedikit. Supono sendiri mengatakan, dirinya sampai terlambat menyekolahkan anaknya.

sumber : wartakota.tribunnews.com