Kamis, 05 Januari 2012

Seraut Wajah Kampung Sumur Batu Kemayoran



Diantara permukiman yang termasuk kumuh di Jakarta adalah Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat. Kelurahan dengan luas 149 km2 ini berpenduduk sekitar 20.300 jiwa. Salah satu masalah yang mendesak dicarikan solusinya, selain merenovasi lingkungan agar sehat, juga pendidikan generasi mudanya. Happy Sulistyadi, redaktur senior Jakartanesia, mantan orang Sumur Batu, menulis riwayat dan meliput kawasan tersebut...

Tiada lagi air mengalir lincah di saluran got di kiri dan kanan jalan utama. Air got pun nampak hitam dan berlumpur padat. Juga tak ada lagi kecebong, ikan kepala timah, keong racun, ataupun cacing tanah. Bahkan saluran got praktis tertutup beton cor-coran untuk jalan dan jembatan ke rumah-rumah.

Sedikit trotoar yang ada di kiri dan kalan jalan utama juga tak bisa lagi dilalui orang. Sebab, permukaannya jadi miring, menyatu dengan beton cor-coran ke rumah-rumah. Malah di banyak tempat, bagian trotoar itu pun dijadikan bagian depan warung-warung warga. Jalan utama menjadi makin sempit. Bagian jalan juga sering dipakai mobil parkir. Padahal, lalu lintas kendaraan di jalan itu semakin deras.

Di sepanjang jalan utama, sebagian rumah kelihatan agak semi permanen. Banyak pula yang bertingkat. Namun, rumah-rumah warga di dalam gang-gang tampak seperti berderet dan bertumpuk. Pada gang-gang kelihatan balkon-balkon rumah di atas alur gang.

Hanya dua gang yang bisa dilalui satu mobil. Kebanyakan gang hanya bisa dilalui sepeda motor. Bahkan sejumlah gang nampak seperti gang senggol: cuma bisa dilalui dua orang yang berjalan berlawanan arah, agak bersenggolan.

Itulah pemandangan Kampung (Kelurahan) Sumur Batu di pusat ibu kota Jakarta. Ia berada di seberang Rumah Sakit Islam dan Universitas Yarsi. Dipisahkan oleh Jalan Letjen Suprapto dan kali dangkal berlumpur hitam. Itu di sebelah timur Sumur Batu. Di sebelah utara, ada Kampung Pulo Kambang, Kompleks Kodam Jaya, dan Mal Cempaka Mas.

Di selatan Sumur Batu, ada Kelurahan Cempaka Baru. Dua kampung ini dipisahkan oleh jalan utama Sumur Batu. Dulu, SD di Sumur Batu terdiri dari dua SD pagi dan dua SD sore. Kini, SD-SD ini bernama SD Cempaka Baru. Di sebelah barat Sumur Batu adalah Pasar Sumur Batu, Kampung Serdang, dan kali Sunter, yang juga dangkal berlumpur hitam.

Setiap musim hujan, Sumur Batu, yang disebut dengan nama Stone Well oleh generasi pemuda tahun 1970-an di situ, tak pernah absen dari banjir. Itu sebabnya sejumlah rumah ditanggul tembok rendah, bagian depan di beberapa gang yang menghadap ke jalan utama ditinggikan permukaannya.

Perubahan (Negatif?)

Dahulu, tahun 1960-an, Kampung Sumur Batu hampir seluruhnya dihuni orang Betawi. Mereka bersawah, berkebun, dan memelihara ikan di empang. Juga, mengelola rumah-rumah petak kontrakan. Pemukim berikutnya adalah pendatang dari Jawa Tengah. Kebanyakan mereka ini bekerja sebagai pegawai negeri. Kemudian datang pula warga Sumatra, dan selanjutnya warga dari Indonesia bagian timur.

Ketika itu, jalan utama Kampung Sumur Batu masih berupa bebatuan tajam. Jembatan masuk dari Jalan Letjen Suprapto ke kampung itu disusun dari batang-batang pohon kelapa. Untuk air minum, warga harus membeli dari tukang air yang mengusung air dalam kaleng-kaleng dengan gerobak. Sebab, air tanah di situ asin, seperti di kawasan Tanjung Priok di Jakarta Utara. Rupanya ketika itu pun perembesan air laut sudah jauh masuk daratan.

Lama kelamaan, posisi Sumur Batu yang strategis membuat Kampung itu kian dipadati penduduk. Sampai tahun 1980-an akhir, sudah semakin sulit menemukan sawah, kebun, apalagi empang ikan. Lahan-lahan lapang, yang dulu bisa digunakan untuk bermain bola, atau perayaan 17-agustusan, peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, juga kian tiada.

Rumah-rumah warga semakin berjejal. Bahkan sejumlah rumah telah berubah menjadi bengkel, konveksi, pabrik sepatu dan tas, atau tempat sablon. Kegiatan di rumah-rumah "kerja" ini seperti tak pernah tidur. Siang malam selalu berisik. Belum lagi asap pembakaran ban bekas dari bengkel pada malam hari, yang menebal dan amat bau.

Sejumlah rumah yang ditambah satu atau dua lantai dijadikan tempat kos. Ada 30 sampai 40 kamar kos di rumah itu. Pemilik rumah tinggal di daerah lain. Yang ada cuma pengurus tempat kos. Itu pun belum tentu ada setiap hari. Padahal, siapa saja yang kos di rumah itu, dan apa saja pekerjaan mereka ini, tak diketahui.

Yang terjadi pagi atau siang hari, tampak perempuan-perempuan berpakaian seronok dan bermake-up tak keruan, kadang sembari merokok, suka duduk-duduk di teras lantai dua rumah kos-kosan itu. Pemandangan tak elok ini, apa mau dikata, tak luput dari tatapan anak-anak kecil yang lalu lalang di gang dekat rumah itu. Itulah yang membuat beberapa aparat RT setiap tiga bulan sekali "menyidak" rumah kos-kosan begitu.

Bersamaan itu, seiring dengan gencarnya, katakanlah istilah ini benar, yakni modernisasi, ternyata perkembangan ini membawa dampak positif, juga dampak negatif yang tak alang kepalang. Dengan berjalannya waktu, orang-orang Betawi pun tergusur. Sebagian besar dari mereka pindah ke Bekasi, Depok, atau Tangerang. Kini, orang Betawi yang masih ada di Sumur Batu bisa dihitung dengan jari.

Tanah dan rumah orang-orang Betawi beralih ke para pendatang baru. Demikian pula tanah dan rumah sebagian warga yang dulu berasal dari Jawa Tengah. Para pemukim baru lantas merenenovasi total rumah-rumah itu, menjadi rumah semi permanen dan bertingkat.

Akan tetapi, rumah-rumah itu sekarang seperti terisolasi. Pagar bagian depan ditutupi fiber glass setinggi dua meter. Bagian samping dan belakang rumah bertembok dan berimpitan dengan rumah tetangga.

Kondisi ini, rumah-rumah berdempetan dan bertembok tinggi, tak memungkinkan lagi ayam ataupun bebek piaraan berlalu-lalang. Sebelumnya, sapi, kerbau, dan kambing, sudah lebih dulu "menghilang". bersamaan dengan berubahnya sawah, kebun, ataupun lahan kosong menjadi rumah.

Mudah ditebak, mobil-mobil pun hadir di Sumur Batu. Tentu saja, sebagian besar mobil itu harus diparkir di pinggir jalan. Atau bila malam, diinapkan di lahan kosong milik warga di dalam gang, dengan sewa bulanan Rp 100 ribu.

Sepeda motor pun tampak kian merebak. Hampir setiap rumah memilikinya. Dan kisah sepeda motor yang mendadak raib, sering terdengar: sepeda motor yang diparkir di depan rumah, tak sampai lima menit hilang.

Prospek Generasi Penerus

Yang memprihatinkan dari perkembangan Kampung Sumur Batu adalah perubahan sosial, sekaligus kebiasaan sehari-hari. Mungkin karena sebagian besar orang tua generasi pertama telah meninggal, atau juga rumah-rumah yang semakin terisolir, kini fungsi sosial para tetangga, seperti turut menjaga, mengontrol, bahkan mendidik anak-anak dan remaja, bisa dibilang semakin memudar atau malah total tiada lagi.

Komunikasi dan interaksi sosial antarwarga, juga antara anak dan remaja dengan para orang tua, sangat tidak seintensif dulu lagi. Sudah begitu, tempat-tempat yang dulu acap digunakan untuk pengajian anak-anak dan remaja juga telah beralih rupa menjadi rumah-rumah kontrakan, atau rumah baru. Lahan untuk bermain anak dan remaja pun sudah tiada.

Dan, yang paling memprihatinkan, sebagian besar generasi muda di Sumur Batu kini terjangkiti narkoba. Beberapa warga, di antaranya janda, ada yang sampai kehilangan dua anak lelakinya, meninggal akibat over dosis (OD). Demikian menggilanya wabah narkoba, sampai-sampai pernah ada bendera kuning (tanda ada kematian) ditulisi "Korban OD". Seolah graffiti di tembok-tembok di beberapa gang, konon diusahakan oleh RT dan RW setempat, yang menyatakan kawasan  ini "anti narkoba", tdak ada.

Boleh jadi karena perkembangan nan mengkhawatirkan itu, sebagian generasi kedua di Sumur Batu memilih pindah, menghindarkan anak-anak dri pengaruh kawasan "gawat" itu. Mereka pindah ke daerah Bekasi atau Depok. Kebanyakan mereka tergolong generasi penerus di Sumur Batu yang pertama kali berhasil menjadi sarjana dari perguruan tinggi negeri ternama di Jawa. Mereka sudah punya pekerjaan mapan, dengan penghasilan cukup.

Toh, kepergian generasi kedua dari Sumur Batu tak membuat kampung itu rada kosong. Sebab, para pendatang baru pun semakin membeludak, selain sebagian generasi pertama di Sumur Batu masih setia tinggal di Sumur Batu. Mereka bersama para saudara kandungnya tinggal di rumah orang tua mereka, dengan membagi-bagi atau menyekat rumah besar itu. Sebagian besar mereka menafkahi diri dan kekluarga dengan mengojek sepeda motor, atau menjadi tukang parkir di toko dan mal, atau penjaga gedung.

Alhasil, mungkin seperti juga di kawasan lain di Jakarta, Sumur Batu malah kian padat.Setiap tahun, selalu saja lahir generasi anak-anak dan remaja. Hampir setiap rumah, ataupun rumah kontrakan dan rumah-rumah petak, ditinggali lebih dari empat orang penghuni. Dengan kondisi ruang rumah yang sempit dan tinggal berjejal, tak mungkin anak dan remaja punya kamar sendiri, apalah lagi meja belajar.

Kondisi begitu, ditambah suasana Sumur Batu yang panas, membuat para remaja jarang betah di rumah. Kalau sore, apalagi malam hari, mereka pun kongkow di mulut gang atau di pinggir jalan utama. Sebagian dari mereka, meski belum memiliki SIM, ngelayap dengan sepeda motor.

Kendati sebagian orang tua mereka tak gampang untuk melunasi uang kontrak rumah tahunan, toh mereka bersama orang tuanya bisa setiap Sabtu atau Minggu "jalan-jalan" ke Mal Cempaka Mas, hanya Rp 10 ribu naik bajaj. Di mal ini, konsumerisme berkembang biak: berbagai kudapan modern dan mainan “modern” mereka lahap. Sudah tentu, mereka pun menggenggam HP, banyak yang  baru, tak peduli apa pun mereknya.

Sumur Batu memang bergerak sesuai zaman: ikut "modernisasi", meski dengan rasa sakit dari segi sosial. Yang menjadi persoalan amat serius adalah bagaimana mungkin mewujudkan generasi penerus yang lebih baik, dengan kondisi permukiman semacam itu, dan di Jakarta kondisi macam ini bukan hanya di Sumur Batu agaknya.

jakartanesia.com