Senin, 16 Januari 2012

Bunyamin Suaeb ; Ikon Betawi Dari Kemayoran



Sebuah pekarangan rumah di salah satu kampung di Kemayoran, Jakarta tahun 1940-an. Seorang bocah enam tahun asyik bermain pada suatu siang. Kulitnya legam, berbadan cebol dan tambun dan hanya bercelana kolor.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang di dekatnya, ternyata itu adalah kakek bocah itu, "Ben, beliin Engkong tape", kata si Kakek. Si bocah langsung menghampiri searaya menerima uang receh dan berjalan menuju ke tempat tukang tape biasa mangkal. Tampaknya 'pekerjaan' itu sudah menjadi kebiasaan bagi si bocah.

Tidak lama kemudian, dia datang. Tapi kali ini prilakunya agak aneh. "Gak ada tapenya, Kong.." ujar bocah cebol itu sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Goblok lu.. masak gak ada. Orang jualan bererot (berderet) disono.." tukas si Kakek sembari sewot.

"Lagi gak dagang kali, Kong.." jawab si Bocah kemudian. Namun si Kakek lantas memperhatikan cucunya dengan seksama. Matanya berhenti pada tali celana kolor bocah. Si kakek langsung bertanya. "Itu apa yang lu gantung..?:" tanya si Kakek. "Tape.." jawab si Bocah santai.

"Astagfirullah.. lu kebangetan.. makanan digantungin di celana.." komentar si kakek gregetan. Kendati demikian, Haji Ung, nama kakek itu, akhirnya tertawa cekikikan lantaran tidak tahan melihat ulah jahil cucunya itu.

Berpuluh-puluh tahun kemudian, ternyata si cucu masih tetap jahil. Suatu pagi di studio radio miliknya, dia menelepon seorang teman di Bandung dan di ajak ngobrol mengenai kebiasaan sehari-hari. Temannya itupun lantas menceritakan aktivitas kesehariannya, termasuk pula hal yang berifat pribadi seperti kebiasaan buruknya saat mandi.

Percakapan berlangsung beberapa menit, dan sebelum tetepon di tutup, sambil cengengesan si penelepon itupun berkata, "Lu tahu gak, sekarang gue lagi wawancarai lu, untuk radio gue.. Suara lu sekarang lagi on air..", Karuan temannya itu kelabakan seraya mengomel, "Sialan lu..!"

Begitulah Benyamin Suaeb, nama bocah dan pemilik radio tadi, seniman besar Betawi. Ada-ada saja polahnya. Hidupnya selalu di warnai kejahilan-kejahilan 'kreatif' yang segar. Kejahilan-kejahilan yang tidak hanya menghibur dirinya, tapi juga banyak orang yang mengetahui, mendengar atau melihatnya.

Kejahilan Ben, begitu dia biasa dipanggil, tidak menyusut ketika kehidupannya sudah mapan, ketika namanya sebagai seniman besar sudah bersinar. Keisengan itu pula yang turut memberi warna karya-karya seninya, baik film maupun lagu.

Lahir dengan nama Bunjamin Suaeb, di Jakarta pada 5 Maret 1939, Ben merupakan anak bontot dari delapan bersaudara. Ayahnya, Suaeb, berdarah Jawa sedangkan ibunya, Siti Aisyah, Betawi asli. Haji Ung, kakek Ben dari garis ibu, merupakan tokoh terpandang di Kemayoran. Kabarnya, dia merupakan keturunan Bang Jago, seorang pendekar Betawi terkenal yang namanya di abadikan sebagai nama tempat: Bendungan Jago.

Ben kecil mengalami masa sulit. Rintangan demi rintangan silih berganti mendatangi. Kehidupan rumah tangga orangtuanya berantakan. Saat Ben lahir, bapaknya punya dua istri. Puncak kesulitan keluarga orang tua Ben terjadi pada 1941, ketika Suaeb meninggal di Belitung. Aisyah ibu Ben harus memikul beban keluarga seorang diri dengan  jalan membuka usaha jahit.

Sejak kecil bakat seni Ben telah terlihat. Meski bersuara cadel, Ben mampu menirukan lagu-lagu orang dewasa dan menghibur tetangganya. Ibu-ibu yang gemas pada Ben menanggapnya untuk 'pentas' di rumah mereka masing-masing. Sebagai imbalannya Ben dapat 'honor' kue kering, bolu, atau uang. "Aku sih patuh aja. Selesai menyanyi dapat duit segobang. Akhirnya aku jadi kesenangan dan ketagihan", kenang Ben.

Bakat menyanyi tersebut semakin terasah karena kakak-kakaknya mendukung. Bersama-sama, mereka kerap memainkan lagu-lagu Melayu, seperti Bajang-Bajang Bertali Sutra dan Pengantin Baru. Untuk lagu pembuka, mereka biasa memainkan lagu Belanda.

Saat usia tujuh tahun, Ben sekolah di Sekolah Rakyat di Bendungan Jago. Abangnya, M. Noer, yang paling sabar mengajari Ben di rumah pun hingga kesal lantaran adiknya itu tidak kunjung bisa memahami pelajaran sekolah. Ben kemudian sempat melewati masa sekolah di Bandung bersama bersama abangnya, Saidi. Dan di kota itu pula kelak ia bertemu dengan saudara tirinya, Adung Saleh.

Mereka bersekolah di Sekolah Rakyat Santo Yusuf, Bandung. Ben dan Saidi menumpang di rumah Otto Soeprapto, abang mereka yang bekerja sebagai pegawai perusahaan Kereta Api di Bandung. Otto sangat keras dan disiplin, membuat Ben dan Saidi 'kaget'. "Bayangin aja, dari tidak disiplin di Kemayoran menjadi disiplin, wah rasanya kayak dihukum", kenang Ben.

Ben dan Saidi tidak lama tinggal di Bandung. Selepas tamat Sekolah Rakyat mereka memilih melanjutkan studi di Jakarta. Ben lalu masuk Sekolah Lanjutan Perguruan Sosial Indonesia (PEPSI) berlokasi di Cikini. Di sekolah itu Ben sangat tekun dan kendati harus berjalan kaki dua jam untuk bisa mencapai sekolah, dia tidak pernah mengeluh apalagi membolos.

"Saban hari Ben pulang sekitar pukul 20.00. Pergi berkeringat, pulang berpeluh sudah jadi hal yang biasa", tulis Ludhy. Lantaran kasihan melihat Ben, abangnya Moenadji lalu membelikan sepeda BSA dengan cara mencicil. Selanjutnya dengan sepeda tersebut, Ben bersekolah di PEPSI hingga 1955.

Ben kemudian melanjutkan pendidikan sekolah ke SMA Taman Siswa Kemayoran. Konyol, jahil, tengil, suka berantem, dan pandai menghibur tetap jadi ciri Ben di sekolah itu. Meski nakal, dia tetap bertanggung jawab dan solider.

Syumanjaya yang kelak menjadi sutradara terkenal serta dan Misbach Yusa Biran, penulis skenario terkenal, ternyata satu almamater dengan Ben di Taman Siswa. Juga pelawak Ateng Soeripto merupakan salah seorang 'konco' yang paling dekat dengan Ben saat itu. Mereka sama-sama satu sekolah meski beda tingkatan: Ben SMA, Ateng SMP.

Sebenarnya Ben bercita-cita jadi pilot, bahkan semua surat yang diperlukan untuk menjadi pilot sempat di urusnya. Namun ternyata cita-cita itu urung dia perjuangkan lantaran Mak Aisyah takut. "Nggak usah aje ye.. gue takut elu jatoh..", ujar Mak Aisyah saat itu.

Ben lalu kuliah di Akademi Manajemen Sawerigading. Tapi, hanya sampai semester dua. Sambil kuliah Ben juga 'ngamen' di beberapa klab malam. Saat senggang, dia tetap main bola. Hobi main bolanya ini pula yang mengantarkannya pada nasib menjadi pegawai PPD.

"Awalnya ingin menjadi tenaga administrasi, tapi nggak tahu kenapa malah menjadi kernet..", ujar Ben, mengenang. Selanjutnya Ben 'menekuni profesi' sebagai kernet bus PPD yang melayani trayek Lapangan Banteng - Pasar Rumput.

Pada masa itu pulalah Ben jatuh cinta kepada seorang gadis tetangga, Noni namanya, tinggal bersama ibu dan ayah angkatnya serta ketiga saudara tiri. Mereka menempati rumah kontrakan milik Cing Lale, ade Mak Aisyah. Ben dan Noni pacaran secara backstreet. Kendati awalnya tidak direstui orang tua Noni, namun Ben dan Noni akhirnya menikah pada 2 Oktober 1959.

Pada 1960, lahirlah anak pertama pasangan Ben dan Noni, yang di beri nama Beib Habani Benyamin. Tidak lama setelah anak pertama lahir, Ben pindah kerja ke PN. Kriya Yasa, pabrik asbes semen. Di perusahaan itu karir Ben mulai menanjak, ekonomi keluarganya pun beranjak membaik.

Ben mendapatkan rumah dinas di Kemayoran dan sepeda motor, selain itu diapun mampu membeli rumah sederhana di Gang Bugis. Dan dari pernikahan dengan Noni, membuahkan lahir lima anak: Beib Habani Benyamin, Bob Benito Benyamin, Biem Triany Benyamin, Beno Rachmat Benyamin, dan Benny Pandawa Benyamin.

Namun apes, di puncak karier Ben, pabrik tempatnya bekerja bangkrut dan para karyawan di PHK. Masa sulit pun kembali menghampiri Ben dan keluarganya. Ben terpaksa hanya mengandalkan pemasukan dari 'ngamen', sementara Noni berjualan pisang goreng keliling kampung.

Dewi Fortuna rupanya kembali berpihak, alhasil karier sebagai pelawak, penyanyi, dan pemain film perlahan menanjak setelah lagu pertamanya di terima oleh Bing Slamet. Dan sejak saat itulah Ben mulai di kenal sebagai ikon Betawi.

Ternyata kesuksesan Ben tidak seiring dengan keharmonisan rumah tangganya. Akibat kesibukan, waktu Ben untuk keluarga makin minim. Dia juga mulai sering ribut dengan istrinya. Akhirnya, Ben dan Noni bercerai meski sempat rujuk sebentar.

Pernikahan yang berantakan tersebut di tengarai lantaran Noni cemburu pada Ida Royani, pasangan duet menyanyi Ben kala itu. Konon Ben suka pada Ida, tapi gayung tidak bersambut. Ida tak menaruh hati pada Ben yang sudah punya anak istri.

Alhasil Ben yang sudah 'melajang' itu pun kembali mencari jodoh. Kali ini atas bantuan Bu Royani, yang tiada lain adalah ibunda dari Ida Royani, Ben menemukan jodoh: Alfiah, seorang gadis asal Kediri. Ben lalu meminang Alfiah, yang saat dinikahi Ben usianya masih 17 tahun.

Dari pernikahannya itu Ben dikaruniai empat anak: Bayi Nurhayati, Billy Sabila Benyamin, Bianca Belladina, dan Belinda Sahadati Amri. Kehadiran Alfiah, dengan empat anaknya itu membuatnya bersemangat untuk melepaskan diri dari cengkeraman 'kegelapan'. Ben pun berhasil melewati masa-masa suramnya yang kedua itu hingga sang maut datang menjemput pada 1995.

Kepergian Ben membuat banyak orang kehilangan. Tidak hanya keluarga maupun orang terdekatnya, tapi juga jutaan penggemarnya. Yang pasti, dunia seni pertunjukan Indonesia telah kehilangan salah satu putra terbaiknya. Seniman, yang menurut Didi Petet, sukses mengerjakan tiga profesi sekaligus: penyanyi, pelawak, dan pemain film.

Oleh : MF Mukhi
http://historia.co.id