Minggu, 01 Mei 2011

Kota Baru Kemayoran


Diwarnai jalan-jalan yang lebar, pusat bisnis, rusunami, rusunawa,  apartemen sederhana, menengah dan mewah. Namun, masih tersisa konflik dan persoalan yang belum terselesaikan : Kampung tergusur

Direktur Utama Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPKK), Hendarji mengatakan lahan komplek Kemayoran seluas 454 Ha. Nantinya dibagi tiga cluster yaitu 102 Ha untuk dibangun kantor perdagangan internasional, 149 Ha dibangun fasilitas pendukung berupa perumahan, apartemen dan kantor pemerintahan. Sedangkan sisanya 203 Ha digunakan untuk infrastruktur fasos dan fasum.

PEREMAJAAN PERKOTAAN SUATU AMBIGUITAS

Kawasan Kota Baru Kemayoran, yang pelaksanaannya dimulai sejak akhir 1980-an, dan masih berlangsung hingga sekarang, mengandung ambigu. Di satu sisi, dimaksudkan untuk meningkatkan citra perkotaan, di sisi lain terjadi simpang-siur program yang menciptakan berbagai konflik, baik dari pihak otorias, badan di bawah Setneg (Pemerintah Pusat), Pemda wilayah Jakarta Pusat, di tingkat kelurahan,  maupun  di kalangan kelompok masyarakatnya sendiri.

Saat ini, banyak warga gusuran yang pindah ke rusun menikmati peningkatan kesejahteraan ekonomi dan infra struktur perkotaan yang baik, namun peremajaan perkotaan ini masih meninggalkan konflik yang belum terselesaikan, yang bahkan menimbulkan persoalan baru : 1. Squatter di lahan-lahan gusuran yang belum dibangun; 2. Bertambahnya daya tarik perkotaan, memicu berdatangannya para migran baru.
 
Warna oranye menunjukkan lahan di bawah izin HPL yang diduduki oleh masyarakat, daerah Pink adalah lahan di bawah izin HPL yang sudah dikendalikan oleh Unit Pelaksana Kemayoran. Daerah Kuning tidak berada di bawah izin HPL; namun Unit Pelaksana Kemayoran menganggap lahan tersebut harus diakui mereka direncanakan untuk rumah susun dalam master plan Kota Baru Kemayoran.

Wilayah RW 04 sd RW 09 masuk dalam masterplan Kota Baru Kemayoran. Sebagian besar lahan sudah dibeli oleh DP3KK. Surat-rurat kepemilikan lahan warga yang diserahkan diganti dengan voucher untuk masuk ke rumah susun, namun KTP dan KK masih dipegang warga.

Demikian pula sebagian lahan yang tadinya verponding (VI) dan sudah disertifikasi dalam PRONA agraria pada 2002, ada yang sudah dibeli oleh DP3KK, ada juga yang belum, yaitu para warga yang tidak bersedia masuk ke rumah susun, dan tidak mau  menjual  lahannya dengan hanya harga NJOP, karena menurut mereka, lahan mereka sangat mahal. Yang menolak ini dikoordinasikan oleh Delegasi Warga Kemayoran.

Pihak pemegang otoritas Kemayoran, memberi pilihan kepada warga ysng sudah diberi ganti rugi untuk membongkar sendiri rumahnya atau dibongkar  oleh petugas. Sayangnya, setelah pembongkaran, lahan dibiarkan terbengkalai. Ada aturan bahwa lahan idle itu boleh dimanfaatkan sebagai kebun tanaman semusim, namun karena tidak ada pengawasan, tidak sedikit warga yang kemudian kembali menduduki lahan tersebut, dan banyak pendatang baru, terutama yang berasal dari Madura. Tidak sedikit warga lama yang sudah mendapatkan haknya di rumah susun, menyewakan rusunnya kepada pihak lain, dan kembali  ke rumah lamanya yang ‘belum sempat’ dibongkar.

Anehnya, di wilayah yang tidak jelas statusnya ini (berbaur HGB, HM, dan yang masih verponding karena di-HPL-kan) ada juga proyek perbaikan lingkungan dalam rangka PNPM Mandiri Perkotaan, antara lain perbaikan jalan lingkungan, seperti tercantum dalam papan proyek di samping ini:




Terlihat adanya peningkatan citra perkotaan di Kota Baru Kemayoran ini, demikian pula tingkat kesejahteraan warga, seperti di blok-blok rusun Dakota dan Apron, sebagai pembangunan tahap I. Namun, ternyata banyak juga warga pendatang (kelas ekonomi menengah) yang menyewa unit-unit rusun tersebut. Sedangkan pemegang hak unit huniannya balik ke perkampungan bekas gusuran (Kebon Kosong, Gunung Sahari Selatan dan Pademangan Timur).
 
Adanya PerPres no. 43 th. 2008 tentang Pembubaran BPKK/DP3KK (Badan Pengelola Kompleks Kemayoran / Direksi Pelaksana Pengendalian Pembangunan Kompleks Kemayoran), maka persoalan yang menyangkut pembebasan lahan beralih kepada BLU-PPKK (?)

Sumber : Jurnal Perkim