Selasa, 29 Maret 2011

Dugaan Korupsi : Siapa Memainkan Proyek Palazzo?


Kompleks hunian itu berdiri megah di Jalan Benyamin Sueb, Kota Baru Bandar Kemayoran, Jakarta Pusat. Di sisi luar terdapat bagunan tiga lantai yang terdiri kantor pengelola serta deretan ruko / rukan dan melingkar membentuk letter 'U'. Dan kemegahan itu lebih terasa dengan beberapa patung kuda terbang yang menghias di pintu gerbang.

Di bagian dalam, bangunan megah menyembul. Itulah menara lima kondominium yang masing-masing terdiri atas 30 lantai. Dua menara sudah selesai, tiga lainnya baru separuh jalan. Gugusan bangunan yang semuanya berciri arsitektur Romawi kuno itu dikenal sebagai kawasan hunian Palazzo.

Setelah pengembangnya, PT Pelita Propertindo, dinyatakan pailit sampai tingkat kasasi, Mei 2010, pembangunan Menara Catania, Dario, dan Genova dihentikan. Menara Agusto dan Benito juga belum sepenuhnya siap huni, karena sebagian unit belum memiliki fasilitas pendukung.

Di dua tower itu, jumlah penghuni baru seperlima dari kapasitas. Ketika wartawan mendatangi kompleks tersebut Kamis pekan lalu, bahan bangunan berserakan di tiga menara yang belum kelar. Kantor pengelola kosong lantaran disegel pihak kurator.

Namun masalah pailit bukan satu-satunya perkara yang membelit hunian elite yang berjarak hanya sepelemparan batu dari Pasar Kemayoran ini. Sudah sebulan ini, tim pidana khusus Kejaksaan Agung menelisik bau korupsi pada proyek yang dibangun di atas lahan 2,9 hektare yang hak pengelolaannya dipegang Sekretariat Negara melalui Badan Pengelola Kompleks Kemayoran tersebut. Indikasinya, adanya penyimpangan peruntukan lahan yang merugikan negara sampai ratusan miliar rupiah. “Kasusnya memang masih dalam penyelidikan,” kata juru bicara Kejaksaan Agung, Noor Rochmat.

Syahdan, menurut seorang penyidik Kejaksaan, pada Agustus 1988 Menteri Negara Perumahan Rakyat yang juga Wakil Ketua Badan Pengelola Kemayoran Siswono Yudo Husodo dan Direktur Utama Perum Perumnas Suradi Wongsokartono meneken perjanjian penyerahan 30 hektare lahan di Kemayoran. Di atas lahan itu, Perumnas diberi tugas membangun rumah susun dengan ketinggian maksimal delapan lantai untuk kalangan menengah ke bawah. Badan Pengelola Kemayoran mematok uang pengganti atas lahan itu hanya Rp 2.000 per meter persegi.

Perumnas kemudian menggandeng sejumlah perusahaan swasta sebagai mitra. Salah satunya PT Pelita Propertindo Sejahtera milik pengusaha Hong Usman Effendi. Namun, bukan rusun delapan lantai yang hendak dibangun. Perum Perumnas dan PT Pelita, kata penyidik itu, justru meneken perjanjian membangun hunian elite Palazzo di lahan seluas 2,9 hektare. Dalam perjanjian yang belakangan diamendemen itu, yang salinannya diperoleh Tempo, PT Pelita berencana membangun 52 unit ruko dan 1.150 unit kondominium yang terdiri atas lima menara.

Inilah salah satu penyimpangan yang diendus Kejaksaan. Penyimpangan lain, di mata Kejaksaan, adalah kucuran kredit dari Bank Bukopin Rp 100 miliar kepada Perumnas yang jadi modal PT Pelita membangun Palazzo. Dalam proyek itu disepakati modal Perumnas 12,5 persen. Sedangkan PT Pelita menyumbang modal Rp 87,5 persen. “Faktanya, sebagian modal PT Pelita hasil pinjaman Perumnas ke Bank Bukopin,” kata penyidik itu.

Kejaksaan menemukan ada pelanggaran kesepakatan yang dilakukan Pelita atas harga jual unit ruko dan unit kondominium. Pelita menjual di atas harga yang disepakati dengan Perumnas. Kesepakatan ini tertuang dalam amendemen perjanjian per 26 Juli 2006. Penyidik memberi contoh, 42 unit kondo di Menara Agusto dijual Rp 23 miliar. Sedangkan harga perjanjian dengan Perumnas hanya Rp 12,4 miliar. Begitu juga dengan penjualan 46 unit kondo di Menara Benito. Sesuai dengan perjanjian, harga jualnya hanya Rp 13,7 miliar, tapi Pelita menjualnya Rp 24,5 miliar.

Yang jadi persoalan, menurut penyidik itu, adalah tidak diserahkannya selisih penjualan itu kepada Perum Perumnas. Duit itu, kata dia, justru diinvestasikan PT Pelita ke perusahaan lain. Jumlahnya, dihitung dari unit ruko dan kondo yang terjual, mencapai Rp 129 miliar.

Belakangan investasi itu macet dan menyebabkan Pelita kekurangan dana untuk menyelesaikan pembangunan proyek Palazzo menurut tenggat yang dijanjikan ke konsumen. Molornya penyerahan inilah yang lantas menjadi dasar konsumen menggugat pailit PT Pelita ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Februari 2010.

Atas temuan itu, Kejaksaan, untuk sementara, menyimpulkan Hong Usman Effendi sebagai pemilik PT Pelita terindikasi melakukan perbuatan melawan hukum. Tuduhannya menilap uang Rp 129 miliar yang merupakan selisih harga jual unit ruko dan kondominium kompleks Palazzo tanpa setahu Perum Perumnas. Ancaman jeratan yang disiapkan: pasal penggelapan dan pasal menguntungkan diri sendiri dalam menggarap proyek negara.

Menurut sumber di Badan pengelola Kompleks Kemayoran-kini bernama Pusat Pengelola Kompleks Kemayoran-Perum Perumnas juga lalai dalam kasus ini. Perumnas, kata dia, tidak melaporkan perubahan peruntukan lahan ke Pusat Pengelola Kemayoran. Keuntungan penjualan unit ruko dan kondominium tidak masuk ke kas negara melainkan masuk ke PT Pelita. Perumnas, kata sumber itu, dianggap menguntungkan pengembang.

Kepada wartawan, Kepala Divisi Hukum Pusat Pengelola Kemayoran Agus Surono tak membantah soal kelalaian Perumnas. “Peruntukan lahannya keliru,” kata dia.

Pemilik PT Pelita, Hong Usman Effendi, membantah telah merugikan Perum Perumnas dan keuangan negara. Menurut dia, dengan harga unit hunian di atas perjanjian, Perumnas, yang punya saham 12,5 persen, juga akan mendapat bagian yang lebih besar. Usman mengklaim telah menyetor sebagian duit itu ke Perumnas. Soal penyimpangan peruntukan dari pengelola Kemayoran, Usman tak tahu-menahu. Dalam proyek ini, kata dia, pihaknya hanya berhubungan dengan Perumnas. “Perjanjiannya juga untuk membangun proyek hunian komersial,” kata dia.

Perum Perumnas tidak mau begitu saja disalahkan. Menurut General Manager Perumnas Fredy Sibarani, pihaknya sudah melaporkan perubahan itu. Menurut Fredy, Perumnas tak harus minta izin untuk membangun kawasan komersial di atas lahan itu. Sebab, ujarnya, lahan itu dibeli sesuai dengan nilai obyek pajak sehingga tak harus mengikuti ketentuan pengelola Kemayoran. Toh, kata Fredy, di belakang kompleks Palazzo sudah dibangun rumah susun sederhana. “Pengembangnya memang yang bermasalah,” kata dia.

PT Pelita, kata Fredy, melakukan kekeliruan dengan menginvestasikan selisih penjualan ke perusahaan lain. Perumnas, kata dia, memang akan menagih duit itu. Tapi, karena keburu dipailitkan, dana dari selisih penjualan itu menjadi tak jelas. Di luar itu, Perumnas juga masih punya tanggungan Rp 60 miliar sisa utang ke Bukopin yang dijadikan modal PT Pelita untuk membangun proyek Palazzo. Setelah PT Pelita dipailitkan, kewajiban utang terhadap Perumnas dan konsumen diambil alih kurator.

Menurut salah seorang kurator, Bernard Nainggolan, pihaknya memilih mencari investor untuk meneruskan proyek itu ketimbang menjual seluruh aset. Opsi menjual aset, kata Bernard, selain merugikan konsumen yang sudah membeli unit ruko dan kondo, harga jual jualnya rendah, sehingga tidak bisa menutupi kewajiban kepada kreditor. Bernard mengatakan, kewajiban ke kreditor mencapai Rp 700 miliar. Sedangkan nilai jual taksirannya hanya Rp 350 miliar. “Mencari investor lebih menguntungkan,” kata dia.

Kepada wartawan, beberapa konsumen yang telah membeli unit di Palazzo memilih proyek itu diteruskan. Freddy, misalnya. Dia mengaku sudah menyetor Rp 500 juta untuk membeli satu unit kondo di lantai satu Menara Catania, yang harganya Rp 800 juta. Sampai saat ini, kata Freddy, ia belum menerima unit kondo idamannya itu.

Triyanto Heriyanto idem ditto. Ia mengaku telah menyetor separuh dana untuk membeli satu unit kondo di lantai dasar Menara Agusto, yang harganya Rp 600 juta. “Kepentingan kami juga harus dilindungi,” kata dia. Satu per satu mereka yang terlibat skandal peralihan dari rusun ke kondominium ini memang bakal berurusan dengan kejaksaan.

Sumber : Majalah Tempo, edisi Senin, 28 Maret 2011