Senin, 25 Juni 2012

PRJ : Dulu Merakyat, Kini Buat Kantong 'Melarat'


Event Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau Jakarta Fair tampaknya sudah mendarah daging dengan masyarakat Jakarta. Karena itu, setiap pertengahan tahun atau menjelang HUT DKI 22 Juni, masyarakat ibu kota tampak sudah tak sabar menanti perhelatan itu dibuka.

Bentuk antusias yang wajar sebenarnya. Sebab, masyarakat sudah berkembang seiring dengan perubahan zaman.

Dulu Jakarta hanya memiliki Pasar Gambir, pasar malam yang bergaya Eropa, seperti Paris, Brussel, dan Belanda. Event itu juga digelar satu tahun sekali di Lapangan Gambir (Koningsplein, sekarang Taman Monumen Nasional) pada 1856.

"Kemudian pada tahun 1898, kolonial Belanda mulai merubah peruntukan Pasar Gambir menjadi acara peringatan hari lahir Ratu Belanda Wilhelmida pengganti William III. Tidak tanggung-tanggung, Belanda menetapkan penyelenggaraan Pasar gambir selama satu bulan penuh, antara bulan Agustus hingga September," kata Sejarawan JJ Rizal saat berkunjung ke redaksi merdeka.com beberapa waktu lalu.

Sayang, konsep awal PRJ yang dirancang Haji Mangan dan kemudian disetujui Gubernur Ali Sadikin tidak terpelihara seiring dengan pundi-pundi kesuksesan yang diraih. Pada era pemerintahan Bang Ali, PRJ identik dengan pesta rakyat sekaligus tempat pelepas penat warga Jakarta.

Pentas musiknya pun masih merakyat dan bisa dinikmati semua kalangan mulai anak kecil, dewasa, hingga orang tua. Hanya beberapa stan yang digunakan untuk pameran produk industri.

"Harga tiket masuk maupun wahananya pun sangat merakyat, warga yang berduyun-duyun ke PRJ waktu itu pasti penatnya hilang akibat kerja seharian," lanjut Rizal.

Tapi kini wajah PRJ sudah berubah. Tak ada lagi pentas rakyat yang bisa dinikmati semua kalangan. Bahkan jika ke PRJ sekarang, yang terasa adalah pengunjung yang berjubel serta keamanan yang mulai tak terjamin.

Niat mau menghilangkan penat malah menambah stres melihat padatnya pengunjung ditambah stan yang memenuhi setiap sudut. Parahnya, stan yang menampilkan kebudayaan kini jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan stan promosi yang memajang merek-merek ternama.

Tak salah kalau ada yang menyebut PRJ saat ini hanya dijadikan mesin uang yang mengeruk kantong warga Jakarta. Setidaknya hal itu ditunjukkan dari tarif parkir kendaraan yang diberlakukan dan mahalnya biaya masuk.

Untuk parkir kendaraan, paling tidak pengunjung diharuskan merogoh kocek antara Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu, bahkan bisa lebih. Belum lagi biaya masuk berkisar antara Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu per pengunjung. Padahal, sekali lagi, ide awal event ini adalah merakyat.

Tak hanya itu, banyaknya stan membuat kondisi gedung terlalu kacau, bahkan bak sebuah mal. PRJ sekarang lebih diprioritaskan sebagai lokasi untuk mempromosikan berbagai produk, baik karya bangsa maupun impor. Kebanyakan stan tidak lagi menggambarkan ciri khas kebudayaan Betawi. Bahkan sebagai taktik dagang, beberapa pemilik stan tidak segan mendatangkan wanita-wanita Asia hanya untuk menggaet sebanyak-banyaknya pengunjung untuk membeli produk mereka.

"Kenapa Jakarta Fair sekarang tidak menarik seperti dulu, Jakarta Fair seperti mal kebanyakan. Hanya sebagai tempat promosi barang," sesal Rizal.

merdeka.com