Kamis, 07 April 2011

KH. A. Fadloli el-Muhir


Sang Penebar Semangat Heroisme

Bila ada pihak yang diuntungkan oleh perkembangan Ibukota, maka sudah sepantasnyalah prioritas tertuju kepada masyarakat Betawi. Namun kenyataan berkata lain, hegemoni pembangunan telah menina-bobokan masyarakat dan budaya Betawi. Secara sosiologis, sebagai penduduk inti kota Jakarta, bahkan mereka justru termarginal di segenap aspek kehidupan. Reformasi yang telah lama bergulir di negeri ini, tidak serta merta menjadikan warga Betawi mendapat perlakuan secara adil dan bermartabat.

Sebagaimana Suku Aborigin di Australia dan Suku Indian di Amerika yang tergusur oleh penduduk pendatang. Sekalipun modernisasi dilaksanakan di kedua dataran tersebut, namun lantaran minimnya keselarasan dengan adat dan tradisi penduduk setempat, maka yang terjadi adalah malapetaka kepunahan kultur belaka. Apakah suatu hal yang berlebihan bila diramalkan bahwa lambat laun masyarakat Betawi akan mengalami nasib serupa ?

Alhasil, fragmen ironi yang demikian lantas disikapi oleh KH. A. Fadloli El Muhir dan kawan-kawan dengan mendeklarasikan terbentuknya Forum Betawi Rempug ( FBR ). Sedari awal berdirinya pada 29 Juli 2001, ormas tersebut dipimpinnya dengan plateform pemberdayaan masyarakat dan budaya Betawi. Memang Sang Kiai kharismatik ini tahu persis bagaimana cara membangkitkan masyarakat yang termarginalisasi oleh hegemoni pembangunan. Lantas beliau menggali ideum-ideum lokal yang mengakar pada tradisi masyarakat Betawi untuk membangkitkan kerempugan ( persatuan ) dan semangat anggota FBR.

Selaras dengan visi merebut kembali kejayaan Betawi di era globalisasi ini, Kiai Fadloli mensyaratkatkan orang Betawi harus menjadi "Jawara dan Juragan dikampung kite". Diyakini bahwa ideum lokal tersebut dapat menumbuhkan semangat baru bagi warga Betawi yang ingin keluar dari himpitan sosial. Tentu saja jawara yang dimaksud bukanlah serupa jagoan ataupun pendekar Betawi tempo dulu. Oleh karenanya beliau senantiasa menegaskan bahwa setiap warga Betawi, harus mewarisi esensi kejawaraan, yakni bermental baja ; pemberani, tidak gampang menyerah, gigih dan tegar menghadapi masalah dengan segala resiko.

Dengan implementasi secara proporsional, tiada dipungkiri bahwa sikap kejawaraan semacam itu senantiasa relevan sepanjang masa. Bahkan menurut Sang Kiai, zonder sikap yang demikian, rasanya sulit bagi warga Betawi untuk menyelaraskan diri apalagi berperan dalam geliat pembangunan metropolitan. Kendati akses telah terbuka, orang Betawi yang bukan bermental jawara cenderung kesulitan untuk memanfaatkannya. terlebuh jikalau akses mereka ditutup, maka yang terjadi adalah sebagaimana kata pepatah "Sudah jatuh tertimpa tangga pula".

Sementara, menjadi Juragan yang dimaksudkan oleh Sang Kiai pada hakikatnya adalah menumbuhkan ethos kerja secara simultan. Adapun kemalasan dan dan puas akan hasil yang dicapai hari ini hanyalah suatu sikap kontraproduktif yang harus segera ditinggalkan. Sikap seorang juragan adalah pekerja keras agar dapat mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya serta membantu orang-orang disekitarnya. Dengan menjadi juragan, orang Betawi tidak mudah dimarginalisasikan. Dengan menjadi juragan bahkan mereka kelak diperhitungkan dalam pelbagai aspek kehidupan warga kota. Dan yang tak kalah penting, mereka akan bisa menjadi tuan rumah dikampung kite.

Memang untuk membangun sterotipe masyarakat semacam ini, tidak semudah membalik telapak tangan. Kondisi objektif telah terpapar bahwa masyarakat Betawi hingga kini masih termarginalkan. Belum lagi "stempel" yang melekat pada mereka berupa rasa rendah diri, malas dan cepat merasa puas dengan hasil yang dicapai hari ini. Padahal, bukankah masa depan masyarakat Betawi ditentukan oleh masyarakat Betawi itu Sendiri ? Hal ikhwal demikianlah yang diperjuangkan KH. Fadholi bersama FBR.

Untuk membangkitkan semangat dikalangan warga Betawi agar bersama-sama memperjuangkan segala hak yang "terenggut" oleh proses pembangunan ibu kota, maka dirasakan  perlu untuk membangkitkan semangat heroisme. Hal yang demikian tampak jelas pada surat himbauan resmi yang dikeluarkan FBR pada tahun 2004.

" Wahai orang Betawi... Ketenteraman, kenyamanan dan keindahan di tanah Betawi yang menjadi Ibukota Indonesia adalah suatu kewajiban putra daerah untuk menciptakan itu semua. Sifat pemaaf, selalu mengalah, tidak pendendam, mendahulukan musyawarah adalah watak dan karakter Anak Betawi. Tetapi mulai saat in, bangkitkah dan bersatulah, wahai Anak-anak Betawi untuk melawan para pendatang yang congkak, sombong, mau menang sendiri, pendendam serta tidak pernah menghormati dan menghargai penduduk asli Betawi. Kita sudah muak dengan kedzoliman dan kebiadaban, satu tetes darah Anak Betawi harus ditebus dengan lautan darah dan mulai saat ini, jadilah wahai Anak-anak Betawi sebagai jawara dan juragan di tanah Betawi ". Wassalam. Ttd. Pimpinan Pusat Forum Betawi Rempug.

Himbauan tersebut kelihatan sangat provokatif. Namun bila ditelaah dan dikaitkan dengan dimensi waktu. sesungguhnya himbauan itu juga merupakan pesan kepada masyarakat Non Betawi yang bermukim di ibukota agar senantiasa membina jalinan keselarasan dengan warga Betawi dalam membangun Jakarta. Masyarakat Betawi cinta perdamaian. Namun mereka tidak takut menghadapi musuh. Terdapat beberapa ungkapan yang muncul di kalangan masyarakat Betawi antara lain ; "Ane tidak mencari musuh dan tidak lari menghadapi musuh, ente jangan buat rusuh di kampung Ane", "Ente jual, ane borongin".

Ungkapan-ungkapan tersebut dimaksudkan sebagai bahan edukasi warga Betawi, at least anggota FBR agar memiliki keberanian dan ketegaran dalam menghadapi berbagai perlakuan yang tidak menyenangkan dengan cara merempugan diri di FBR. Tidak hanya sebatas itu, bahkan hal yang demikian seolah merupakan  maklumat dari FBR yang ditujukan kepada pihak-pihak eksternal agar melakukan koreksi diri serta mempertimbangkan ratusan kali jika berniat melakukan tindakan atau ulah yang cenderung merugikan orang Betawi. Selain mereka akan berhadapan dengan hukum, sebagai konsekuensi dari negara hukum. Mereka juga akan berhadapan dengan sebuah kekuatan besar, kekuatan orang-orang Betawi yang bersatu ; FBR.

Melalui transformasi nilai-nilai heorisme inilah kerempugan dikalangan FBR tercipta, hingga organisasi ini makin diperhitungkan di Jabodetabek. Kiprahnya senantiasa menyedot perhatian publik, kalangan lokal, secara nasional hingga mancanegara. Terbukti dari maraknya kunjungan diplomat pelbagai negara belahan dunia ke markas FBR. Tidak hanya itu, KH. A. Fadloli El Muhir, selaku pimpinan FBR kerap menghadiri berbagai event internasional seperti di Thailand, Malaysia, Singapura, Yaman, Saudi dan lainnya. Belum lagi penawaran beasiswa dari pemerintah Mesir kepada warga FBR untuk belajar di Al-Azhar, Kairo. Hingga dipenghujung usianya, beliau sempat menghadiri undangan ke Iran. Lantas pada bulan Maret, FBR diundang ke Jepang untuk mempromosikan budaya Betawi.

"Warga Betawi anti kekerasan dan siap menghadapi orang-orang yang berbuat kekerasan", "Ente sopan ane hormatin, ente brengsek ane sikat", "Anak Betawi kudu doyan ngaji tapi kagak nolak diajak berkelahi", "Kurang hajar kita hajar". Demikianlah ideum-ideum yang ditanamkan oleh sang Kiai kharismatik itu kedalam sanubari setiap anggota FBR. Disatu sisi, untuk membangkitkan semangat dan sekaligus rasa heroisme agar berani menghadapi masalah-masalah kemasyarakatan. Disisi lain, sesungguhnya ungkapan tersebut meripakan pesan kepada seluruh warga Betawi agar senantiasa menjaga ketertiban dan menjunjung cara-cara damai dalam menyelesaikan segala permasalahan serta menghindari cara-cara kekerasan dan tindak anarkisme.

Anita / Heri

Tidak ada komentar: