Selasa, 01 Februari 2011

Relief Beton Modern Indonesia Pertama Segera Punah ?


Relief Beton Modern 'Legenda Sangkuriang' yang tersia-sia di eks Bandara Kemayoran, Jakarta

Karya rupa anak bangsa berupa relief dinding dengan bermedia beton terancam eksistensinya. Bagaimana upaya menyelamatkan karya yang pernah berjasa menjadi dan mengkampanyekan Indonesia ini, masih belum jelas. Semisal Relief yang berlokasi di eks VIP Room Kemayoran International Airport, Kemayoran, Jakarta. Relief yang di prakarsai Presiden Soekarno, sebagai sebuah artefak budaya yang bernasib mengenaskan.

Relief beton modern pertama di Indonesia, yang dahulu pernah terpampang megah pada salah satu pintu gerbang utama negeri ini, di jamannya sempat menimbulkan decak kagum semua orang. Relief tersebut di buat pada tahun 1957 oleh para guru dari Seniman Indonesia Muda (SIM) antara lain S. Sudjojono, Harijadi S. dan Surono dibantu para muridnya Darmi S. Djakaria S, Marah Djibal, Sudariyo, Sudibyo, Chaidir, dan Darmo S.

Bung Karno dengan semangat nasionalismenya yang menggelora pada saat itu berkeinginan untuk mempersembahkan panorama kekayaan Nusantara kepada para tamu dari mancanagera. Nyata benar bahwa Sang Proklamator ternyata tidak hanya ingin memperlihatkan kekayaan alam yang di miliki negeri ini, namun juga keagungan seni budayanya. Oleh karenanya di rancanglah sebuah karya relief oleh para siswa dari SIM hasil dari ujiannya yang terpilih dari sekian banyak siswanya.

Namun yang memprihatinkan, sejak terjadi alih fungsi kawasan bandara Kemayoran relief ini terbengkelai dan tak terawat. Seperti kita tahu bersama, bandara Kemayoran adalah bandara pertama di Jakarta. Setelah perkembangan kota Jakarta kian pesat, dibuatlah bandara baru, Halim Perdanakusuma. Dan akhirnya, tahun 1985, pemerintah membangun bandara Soetta (Soekarno-Hatta) yang berlokasi di Cengkareng, Banten.

Keberadaan relief manifestasi seni yang merupakan artefak budaya ini harus di selamatkan sebelum hancur tak berbekas. Menurut pelukis Lampung Bambang Suroboyo dan Santu Wirono, putra almarhum seniman Harijadi S. yang dulu terlibat sebagai pembuat relief yang masih terpajang tersebut, untuk menyikapi hal ini perlu gerakan penyelamatan karya anak bangsa yang dulu menjadi salah satu etalase untuk memperkenalkan Indonesia pada dunia.

Menurut seniman senior Marah Djibal, ini merupakan relief beton modern pertama di Indonesia. Relief ini di kerjakan tanpa menggunakan tukang saring dan aduk semen, pasir, karena pembuatan relief ini termasuk ujian akhir para siswa. Dalam mengerjakan proyek ini para siswa bekerja sebagai tenaga bangunan yang harus mengaduk semen dan mengerjakan pembetonan, sekaligus tenaga artistik yang harus memindahkan desain ke atas beton kemudian memahat dengan teknik pahatan dalam, bukan dangkal.

Proyek relief ini sendiri dibiayai oleh Kantor Djawatan Gedung-Gedung. Tiga desain yang luar biasa dapat diselesaikan dengan luar biasa. Masing-masing seniman mengerjakan sebuah relief yang bertema menggambarkan kekayaan yang dimiliki Indonesia. S. Sudjojono menggarap tema 'Manusia Indonesia', yang menggambarkan bagaimana rakyat yang sedang membangun, bekerja diberbagai bidang, tergambar tubuhnya yang kekar seperti semangat pada masanya.

Sedangkan perupa Harijadi S. menggarap tema 'Flora Fauna Indonesia'. Pada relief ini tergambar berbagai tumbuhan dan binatang yang terdapat di Nusantara baik yang hidup di air tawar dan lautan serta yang di darat seperti harimau, gajah, banteng, babi hutan, rusa, monyet dan masih banyak lagi binatang yang lainnya. Dengan sentuhan tangan dinginnya Harijadi S. berhasil mengerjakannya dengan detil dan halus.

Sementara perupa Surono dalam reliefnya menggambar kisah legenda Sangkuriang. Dengan reliefnya Surono mencoba ia bertutur tentang legenda dari tanah Pasundan yang sangat terkenal itu dengan detil.

Relief karya Sudjojono yang terpajang itu, kira-kira berukuran  panjang 30 meter dengan tinggi 3 meter. Sedangkan karya Harijadi di perkirakan berukuran panjang 10 meter tinggi 3 meter dan karya Surono di perkirakan berukuran panjangnya 13 meter panjang 3 meter.

Menurut Santu Wirono yang juga pelukis putra dari Harijadi S, analisis sederhananya, relief beton ini merupakan relief modern pertama di Indonesia mengingat, pertama, relief tidak terikat pada tradisi relief di Jawa, Bali dan daerah lain yang bernafaskan agama atau kepercayaan.

Kedua, Bung Karno yang punya apresiasi yang tinggi terhadap karya seni ingin menunjukkan Indonesia kepada tamu negara dengan sebuah ilutrasi (relief) tentang Indonesia melalui relief yang ada di halaman depan negeri ini sebagai sebuah etalase.

Sekarang, relief ini dalam keadaan kritis, dan mengenaskan. Bisa jadi nantinya hendak dibongkar oleh pengelola Bandara Kemayoran yang kepengelolaannya berada di bawah lembaga Sekretariat Negara seperti yang tertera dalam papan nama.

Menurut Santu Wirono yang berkunjung ke lokasi mendapat penjelasan dari satpam yang bertugas ukiran atau relief itu tak diperkenankan disentuh. Hal itu juga dibenarkan oleh Bambang Suroboyo yang menyempatkan datang ke lokasi belum lama ini.

Menurut Santu Wirono, pada masa Orde Baru karya-karya ini juga diincar hendak diberangus, seperti juga karya-karya seni lainnya. Untung saja tidak jadi, namun sekitar 2 meter relief ini dijebol juga untuk pintu tangga masuk ke VIP Room bandara Kemayoran.

Santu menyesalkan, pada warisan seni budaya yang merupakan karya seni masterpiece Indonesia, akan di hancurkan. Apakah tak ada lagi kepedulian negara terhadap karya seni anak bangsa. Alih-alih gedung yang pernah dijadikan etalase budaya dijadikan cagar budaya atau sebuah museum yang bisa untuk menyimpan karya seni anak bangsa. Santu menginginkan karya-karya ini di lindungi sebagai cagar budaya. "Saya sudah menghubungi instansi terkait seperti; Dinas Pendidikan dan Dinas Budaya dan Pariwisata", ujar Santu Wirono.

Paling tidak relief-relief itu bisa mengingatkan dan menginpirasi kita untuk terus berkarya dan memperkenalkan Indonesia pada dunia melalui karya seni. Bukan, justru artefak ini dibiarkan dihancurkan oleh nafsu hedonisme dengan mengganti bangunan apartemen dan mal. Alangkah, mengenaskan nasib karya seni di negeri ini. Siapa bertanggungjawab ?

sumber : indonesiaartnews.or.id