Warga mess Papua di Kemayoran, Jakarta Pusat melapor ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Mereka mengaku diintimidasi personel Polsek Kemayoran.
Julius Sangganepa, Ketua RT 02 kaget mess Papua didatangi beberapa polisi bersenjata lengkap. Mereka mencari tersangka perusakan warnet milik Aan warga setempat.
Warga Papua merusak warnet karena menduga Aan menganiaya Nur Rhamadhan penghuni mess Papua. Warga Papua sudah melaporkan kasus penganiayaan Nur Rhamadhan ke Polsek Kemayoran, namun tidak direspon. “Karena itu terjadi penyerangan ke warnet,” kata Julius di kantor Kontras, Kamis (9/6).
Setelah warga merusak warnet, polisi sempat menahan Aan. Namun polisi membebaskan Aan dengan alasan tidak ada saksi yang melihat penganiayaan terhadap Nur Rhamadhan.
Warga kemudian meminta media meliput kasus ini. Beberapa wartawan TV dibawa ke warnet untuk mengambil gambar pada 27 Mei 2011. “Malam itu polisi dengan senjata di tangan (datang ke mess Papua) berteriak ‘bajingan’. Mereka tidak kasih tahu apa urusannya,” ujar Julius.
Dewi Siregar, warga mess Papua mengaku trauma. Malam itu, kamarnya didobrak polisi tanpa seragam. “Mereka mengancam akan menembak kalau kami lari,” kata Dewi.
Polisi menahan 12 orang yang dituduh terlibat penyerangan dan menyita parang serta panah hiasan. Polisi memaksa warga mengakui senjata itu digunakan untuk merusak warnet Aan.
“Parang itu kami gunakan untuk kebutuhan harian. Panah hiasan untuk kegiatan kesenian,” ujar Tommy Albert, pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Menurut Tommy, tindakan polisi tersebut menyalahi prosedur penangkapan. Penangkapan hanya bisa dilakukan jika polisi memiliki bukti yang cukup. “Ini penyalahgunaan wewenang.”
LBH Jakarta dan Kontras akan melaporkan kasus ini ke Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polda Metro Jaya. Kapolres Jakarta Pusat berjanji akan menemui warga minggu depan. Hingga hari ini, 5 warga Papua masih di tahan.
vhrmedia.com