Betawi punya banyak jagoan. Banyak buku-buku dan catatan-catatan tentang jagoan betawi yang telah dipublikasikan. Namun semua yang ditulis dan dipublikasikan itu, tidak satupun yang menulis tentang Djiong.
Menurut cerita turun temurun di keluarga Penulis, Djiong adalah jagoan Betawi yang paling fenomenal. Sebelum era Djiong, para jagoan di tanah Betawi tidak pernah jadi topik obrolan menarik di kalangan masyarakat pribumi dan kompeni. Djiong-lah jagoan Betawi pertama yang menjadi buah bibir, semua itu karena perlawanannya yang konsisten terhadap pemerintah kolonial Belanda (Kompeni). Djiong, demikianlah yang tertulis pada nisan makamnya, lebih dikenal dengan nama Wak Emong oleh warga kampungnya. Hingga tahun 1950-an, nama besar Djiong atau Wak Emong masih 'menggetarkan hati' para jagoan di kawasan Kemayoran, khususnya di daerah Kepu dan Bungur.
Djiong diperkirakan hidup pada sekitar tahun 1800-1900-an (menurut cerita, Djiong memang berumur lumayan panjang). Semasa hidup, beliau tinggal di daerah yang sekarang adalah Kepu Gang II, Kemayoran, Jakarta Pusat, yakni sekitar 1 km dari kawasan yang kini dikenal bernama Jiung.
Djiong memiliki lima orang anak, dua diantaranya laki-laki. Sayang, kedua anak lelaki Djiong 'raib' tak tentu rimbanya, tak diketahui dimana makamnya. Keduanya pun terkenal keberaniannya melawan kompeni.
Kong Aming, demikian keluarga kami menyebutnya, ia adalah salah seorang anak lelaki Djiong yang raib tersebut, pernah merampas kuitansi-kuitansi pajak tanah dari Kompeni dan memusnahkannya. Kemudian ia memprovokasi warga agar tidak perlu membayar pajak. Kong Aming the Robin Hood of Batavia, begitulah kira-kira menggambarkan dirinya.
Tiga orang anak Djiong yang lain semuanya perempuan, masing-masing bernama Nor'ain (tinggal di Gang Kadiman, Bungur Besar, Kemayoran), Saribenah (tinggal di Utan Panjang, Kemayoran), dan Sapinah alias Nyak Sop (tinggal di Gang Bajing, Kepu, Kemayoran).
Nor'ain menikah dengan anak jagoan dari Kalipasir yang bernama Bermawie bin Soehaeri. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai empat orang anak laki-laki yang masing-masing bernama Abdul Wahab Bermawie (tinggal di Jawa Timur), Abdul Manaf Bermawie (tinggal di Gang Kadiman, Jakarta Pusat), Abdul Hamid Bermawie (tinggal di Kepu Timur, Jakarta Pusat), dan Mohammad Noer Bermawie (tinggal di Bandung).
Konon, pernikahan Nor'ain dan Bermawie adalah pernikahan politis. Haji Soehaeri yang adalah jagoan Kampung Kalipasir, yang jasanya dimanfaatkan oleh tentara Kompeni, merasa bersalah telah membantu Kompeni yang notabene amat ditentang Djiong, sang sahabat. Karena penyesalannya, dan kekecewaannya kepada tentara Kompeni, Haji Soehaeri pernah mengeluarkan kalimat kutuk atau pemali yang melarang seluruh anak keturunannya menjadi tentara (salah satu teman tentaranya adalah Scout van Hinne (Van Hijne) alias Sotene, tokoh utama penangkapan si Pitoeng, Sotene kemudian menjadi muallaf).
Djiong wafat sekitar tahun 1900-an dan dimakamkan di daerah Mangga Dua yang sekarang menjadi mall. Ironis, ketika pembangunan mall tersebut, jenazah Djiong gagal dipindahkan sehingga sampai detik ini jasad tulang belulangnya masih tertindih di bawah beton mall di Mangga Dua itu.
Djiong ... o, Djiong, di masa hidup engkau ditindas penjajah. Setelah matipun, engkau masih ditindas pula ... dihimpit simbol kapitalisme neo imperialisme ... Mall Mangga Dua !