Iwan Cepy, Jagal bayaran asal Kemayoran
Inilah pesanan pertama diterima Iwan Cepi Murtado, kini 71 tahun. Pertengahan 1967, dia disuruh melalui perantara menghabisi seorang pengusaha di bilangan Jakarta Selatan. Dia mengambil tawaran itu tanpa berpikir panjang. Bayarannya menggiurkan buat ukuran kala itu, Rp 30 juta.
Selama sepekan Iwan berusaha keras tidak tidur. Dia menguntit dan mempelajari kebiasaan korban saban menit. Tempat eksekusi dan membuang korban dipelajari sangat cermat. Dia tidak mau salah langkah agar polisi tidak bisa membongkar kejahatannya.
"Saya sudah mempelajari semua lebih dulu. Saya survei lokasi dan tempat pembuangan," katanya saat ditemui merdeka.com Jumat pekan lalu di rumahnya, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Di hari ketujuh, misi pembunuhan itu dilaksanakan. Dia mengajak satu rekannya sebagai pilot. Pilot bertugas mengendarai mobil saat eksekusi berlangsung. Pilot suruhan Iwan ialah orang kepercayaan hafal betul dan mahir membawa kendaraan.
Pukul lima sore, Iwan menghabisi korban setelah menikam dengan pisau. Dia bersama pilot membawa mayat itu memakai mobil ke pinggir sungai di Parung, Bogor, Jawa Barat. Mayat dibungkus karung itu lantas dibuang ke aliran sungai penuh buaya.
"Si bos cukup menyuruh saja, dia tidak perlu tahu apa yang saya lakukan dan dengan siapa," ujarnya. Dia membuang korban di sungai penuh buaya buat menghilangkan jejak dan jenazahnya habis dimakan raja sungai itu.
Dua kali korban pembunuhan bayaran oleh Iwan adalah warga Jakarta Selatan. Dia juga masing-masing menewaskan dua sasaran di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Pembunuhan terakhir dia lakukan atas suruhan orang Sekretariat Negara pada 1980. Tugas ini mengantarkan Iwan menghuni penjara Cipinang satu dasawarsa.
"Saya sudah tujuh kali membunuh orang, kebanyakan karena persaingan bisnis," tuturnya. Dia mengaku keluar dari kesatuan Raider lantaran gajinya kecil. Dia memilih hidup di jalan karena penghasilannya menjanjikan.
Enam kali misi dia jalankan begitu rapih. Polisi kesulitan mengusut sehingga dia bebas berkeliaran tanpa harus bersembunyi. Pekerjaan sebagai pembunuh bayaran sudah dilakukan sejak memutuskan kabur dari Batalion Raider Komando Daerah Militer Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Iwan hidup liar di jalan. Kerjanya berkelahi saban hari.
Sejatinya, Iwan telah akrab dengan kekerasan sejak masih sekolah. Dia tiga kali masuk penjara anak di Tangerang, Banten, karena membunuh. Iwan Cepi Murtado pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Kesenian Negara Kampung Jawa, Johar Baru, Jakarta Pusat, namun tidak sampai rampung. Ayahnya dulu mandor zaman Belanda di Kemayoran. Nama belakang Iwan diambil dari nama ayahnya, Murtado.
Ayahnya disegani sebagai jawara. Murtado memenangkan perkelahian saat dikeroyok pendekar dari berbagai pelosok. Tiga orang tewas dalam perkelahian itu dan Murtado dipercaya Belanda menjadi penagih pajak menggantikan Mandor Lihun. "Ayah saya dulu penagih pajak (upeti) namun dia tidak mau meminta pada pedagang tidak punya uang," kata Iwan.
www.merdeka.com